Sabtu, 08 Desember 2018

Hadis dan Sunnah (Ditinjau dari segi Ontologis, Epistomologis, dan Aksiologis).


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada masa Nabi saw., al-Qur’an telah didokumentasikan oleh juru tulis wahyu, selain itu juga para sahabat sangat fokus perhatiannya menhafal al-Qur’an, sehingga hafalan para sahabat menjadi rujukan tulisan para kuttab. Hal ini berarti, bahwa masa Rasulullah saw., al-Qur’an telah dipelihara baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk hafalan. Bahkan pembukuan al-Qur’an telah dilaksanakan pada masa khalifah Abu Bakar (w. 13 H/ 634 M), kemudian disempurnakan dan sibukukan pada masa khalifah Usman bin Affan (w. 35 H/ 656 M) dan catatan di kalangan sahabat tetap terpelihara dengan sempurna.[1]
Penafsiran mengenai isi dan kandungan al-Qur’an dijelaskan melalui Nabi saw., lewat tingkah laku atau perilaku, ucapan, dan amalan yang dilakukannya, karena segala sesuatu yang terlontar dari Rasulullah saw., adalah benar, akurat, valid dan tidak terdapat kesia-siaan sedikitpun.[2] Sebagaimana yang tercantum dalam Q.S. An-Najm/ : 3-4.
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ
Terjemahannya :
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Q.S. An-Najm/53: 3-4).[3]
Ulumul hadis adalah salah satu bidang studi atau mata kuliah yang sangat penting bagi para pelajar, peserta didik, dan mahasiswa yang ingin memepelajari hadis dan keislaman secara mendalam, baik di Pesantren, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, maupun Perguruan Tinggi.  Hadis adalah segala perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi yang dijadikan dasar hukum Islam setelah al-Qur’an. Sedangkan ulumul hadis adalah ilmu yang mengantar umat Islam untuk memahami kajian hadis dengan mudah dan benar. Artinya, seseorang tidak mampu memahami hadis dan permasalahannya secara benar tanpa mengetahui ulumul hadis terlebih dahulu. Ibarat seseorang tidak akan dapat sampai ke loteng dengan aman tanpa melalui tangga. Tangga inilah yang disebut ulumul hadis untuk sampai kepada pemahaman hadis.[4]
Dengan begitu pentingnya ilmu tentang ulumul hadis terhadap umat Islam pada dewasa ini, sehingganya pada makalah ini akan dibahas atau disajikan pembahasan tentang  salah satu sub pokok dalam ilmu ulumul hadis yaitu Hadis dan Sunnah (Ditinjau dari segi Ontologis, Epistomologis, dan Aksiologis).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa Pengertian Hadis, Sinonim Hadis dan Sunnah ?
2.  Bagaimana Pandangan Ulama tentang Hadis dan Sunnah ( Subyek, Obyek, dan Masa ) ?
3. Apa Perbedaan antara Hadis Nabi, Hadis Qudsi, dan Al-Qur’an ?
4. Apa saja Unsur-Unsur Hadis dan Klasifikasi Hadis dari Segi Kuantitas dan Kualitas ?
5. Bagaimana Otoritas Nabi saw., Kedudukan dan Fungsi Hadis, dan Ingkar as-Sunnah ?

C. Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat diketahui tujuan dari makalah ini yaitu sebagai berikut :
1.  Dapat mengetahui Pengertian Hadis, Sinonim Hadis dan Sunnah
2. Dapat mengetahui Pandangan Ulama tentang Hadis dan Sunnah ( Subyek, Obyek, dan Masa ).
3. Dapat mengetahui Perbedaan antara Hadis Nabi, Hadis Qudsi, dan Al-Qur’an.
4. Dapat mengetahui Unsur-Unsur Hadis dan Klasifikasi Hadis dari Segi Kuantitas dan Kualitas.
5. Dapat mengetahui Otoritas Nabi saw., Kedudukan dan Fungsi Hadis, dan Ingkar as-Sunnah.
Adapaun manfaatnya yaitu :
1. Bagi Penulis : dapat menambah wawasan penulis tentang hadis dan sunnah (ditinjau dari segi Ontologis, Epistomologis, dan Aksiologis), yang terdapat di dalamnya pengertian hadis, sinonim hadis dan sunnah, pandangan ulama tentang hadis dan Sunnah ( subyek, obyek, dan masa ), perbedaan antara hadis Nabi, hadis qudsi, dan al-Qur’an, unsur-unsur hadis dan klasifikasi hadis dari segi kuantitas dan kualitas, dan otoritas Nabi saw., kedudukan dan fungsi hadis, dan ingkar as-Sunnah.
2. Bagi pembaca : dapat menambah wawasan pembaca dan referensi tentang hadis dan sunnah (ditinjau dari segi Ontologis, Epistomologis, dan Aksiologis), yang terdapat di dalamnya pengertian hadis, sinonim hadis dan sunnah, pandangan ulama tentang hadis dan Sunnah ( subyek, obyek, dan masa ), perbedaan antara hadis Nabi, hadis qudsi, dan al-Qur’an, unsur-unsur hadis dan klasifikasi hadis dari segi kuantitas dan kualitas, dan otoritas Nabi saw., kedudukan dan fungsi hadis, dan ingkar as-Sunnah.



























II. PEMBAHASAN
A. Pengertian, Sinonim Hadis dan Sunnah
1. Pengertian Hadis
Kata al-hadȋts (الحديث) adalah kata mufrad, yang jamaknya al-ahādȋts (الأحاديث) dan dasarnya adalah tahdȋts (تحديث), yang berarti pembicaraan. Kata Hadis juga terdapat dalam kamus yang berarti  baru, perkataan, percakapan, kabar berita, cerita dan hikayat.[5]  Dari sisi bahasa yang lain sebagaimana yang dikutip oleh M. Ma’shum Zein dalam Tafsir Mushtalah al-Hadis h. 16, karangan al-Tahan   kata hadist memiliki beberapa arti, di antranya ialah :
a. Al-Jadȋd (الجديد), artinya yang baru. Lawan kata al-qadȋm (القديم), artinya yang lama, dalam arti ini menunjukkan adanya waktu dekat dan singkat.
b. Ath-Tharȋqah (الطريقة), artinya jalan yaitu الطريقة المسلوكة  (jalan yang ditempuh).
c. Al-Khabar (الخبر), artinya berita
d. As-Sunnah (السنة) artinya, perjalanan yang memiliki kesamaan arti dengan kata as-sȋrah (السيرة).[6]
Dalam al-Qur’an terdapat banyak kata hadis. Disebutkan sebanyak 23 (dua puluh tiga) kali dalam bentuk mufrad dan 5 (lima) kali dalam bentuk jamak.[7]           Di antaranya :
1.) Q.S. al-Thur/52 : 34.
(#qè?ù'uù=sù ;]ƒÏpt¿2 ÿ¾Ï&Î#÷WÏiB bÎ) (#qçR%x. šúüÏ%Ï»|¹ ÇÌÍÈ
Terjemahannya :
Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar. (Q.S. al-Thur/52 : 34).[8]
Kata hadis dalam ayat ini berarti kalimat.
2). Q.S. an-Nisa/4: 87.
ª!$# Iw tm»s9Î) žwÎ) uqèd 4 öNä3¨YyèyJôfus9 4n<Î) ÏQöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# Ÿw |=÷ƒu ÏmŠÏù 3 ô`tBur ä-yô¹r& z`ÏB «!$# $ZVƒÏtn ÇÑÐÈ
Terjemahannya :
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Sesungguhnya dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya. dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah ? (Q.S. an-Nisa/4: 87).[9]
Kata hadis dalam ayat ini berarti perkataan.
3). Q.S. Yusuf/12: 6.
y7Ï9ºxx.ur šŠÎ;tFøgs y7/u y7ßJÏk=yèãƒur `ÏB È@ƒÍrù's? Ï]ƒÏŠ%tnF{$# OÏFãƒur ¼çmtFyJ÷èÏR šøn=tã #n?tãur ÉA#uä z>qà)÷ètƒ !$yJx. $yg£Jn@r& #n?tã y7÷ƒuqt/r& `ÏB ã@ö6s% tLìÏdºtö/Î) t,»ptôžÎ)ur 4 ¨bÎ) y7­/u íOŠÎ=tæ ÒOŠÅ3ym ÇÏÈ
Terjemahannya :
Dan Demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta'bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya'qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada dua orang bapakmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sesungguhnya Tuhanmu Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Yusuf/12: 6).[10]
Kata hadist dalam ayat di atas dalam bentuk jamak yang berarti mimpi-mimpi.
Berdasarkan beberapa pengertian hadis secara etimologi di atas, dapat dipahami bahwa kata hadis dilihat dari segi etimologi mempunyai banyak arti. Di antaranya yaitu berarti kalimat, perkataan, berita, informasi, yang baru, percakapan, cerita, hikayat dan mimpi.
Adapun pengertian al-Hadis menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam memberi defenisi kata hadis seperti yang dikemukakan oleh mereka, antara lain :
1. Menurut Ulama Hadis
Ulama hadis memberi defenisi hadis sebagai berikut :
Sebagaimana yang telah dikutip oleh Prof. Dr. H. Ambo Asse dalam kitab as-Suunah wa Makanatuha fi Tasyri al-Islami, h. 35, yang ditulis oleh Mustafa al-Sibawai yaitu :
مَا أُثِرَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةٍ خَلْقِيَّةٍ أَوْ خُلُوْقِيَّةٍ أَوْ سِيْرَةٍ سَوَاءٌ قَبْلَ البَعْثَةِ أَوْ بَعْدَهَا
Artinya :
Apa yang ditinggalkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallama berupa perkataan, taqrir, sifat-sifat kepribadian, atau perjalanan hidupnya baik sebelum maupun sesudah beliau diangkat menjadi Rasul.[11]
Sebagaimana pula yang telah dikutip oleh Drs. M. Jayadi dalam kitab Qawaid al-Tahdits Min Funun Mushtalah, h. 61, yang ditulis oleh Muhammad Jamal al-Din al-Qasimiy, yaitu :
مَا أُضِيْفَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَة
Artinya:
Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., berupa sabda, perbuatan, taqrir (penetapan), atau sifat.[12]
Berdasarkan dua penegertian hadis secara terminologi menurut ulama hadis di atas, dapat dipahami bahwa hadis itu terbatas dan khusus menunjuk kepada sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw., dan tidak termasuk sesuatu yang disandarkan kepada orang lain, khususnya kepada sahabat dan tabi’in.
2. Menurut Ulama Ushul
Sebagaimana yang telah dikutip oleh Prof. Dr. H. Ambo Asse dalam kitab Ushul al-Hadis Ulumuha wa Musthalahuhu, h. 28, yang ditulis oleh Muhammad Ajjaj al-Khatib, yaitu :
مَا يَرْوِي عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم بَعْدَ النُّبُوَّةِ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ
Artinya:
Apa yang diriwayatkan dari Nabi saw., berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir sesudah diangkat menjadi Nabi.[13]
Ulama ushul dan ulama hadis memberi defenisi as-sunnah sama halnya dengan definisi al-hadis sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi saw., namun mereka berbeda dalam menetapkan status hadis. Ulama hadis menonjolkan keteladanannya, sedangkan ulama ushul menonjolkan kedudukannya sebagai sumber hukum atau dalil agama.[14]

3. Menurut Ulama Fikih
Sebagaimana yang telah dikutip oleh Prof. Dr. H. Ambo Asse dalam kitab Mabahis fi ‘Ulum al-Hadis, h. 7, yang ditulis oleh Manna’ al-Qattan, yaitu :
مَا ثُبِتَ عَنِ النَّبِي صلى الله عليه وسلم مِنْ غَيْرِ وُجُوْبٍ فَهِيَ أَحَدُ الأَحْكَامِ التَّكْلِيْفِيَّةِ الخَمْسَةِ
Artinya :
Sesuatu yang ditetapkan Nabi yang bukan wajib (sunnah) salah satu dari hukum lima.[15]
Dengan demikian, al-hadis adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun penetapan atau pengakuannya.
2. Pengertian Sinonim Hadis
Hadis secara terminologi oleh ulama hadis sering disinonimkan dengan sunnah, khabar, dan atsar. Ketiga istilah tersebut masing-masing mempunyai makna tersendiri.
a. Sunnah
Istilah sunnah menurut etimologi berarti cara yang bisa ditempuh (iniseatif), baik ataupun buruk. Sunnah atau yang searti dengannya, secara beruang-ulang dipakai dalam hadis, yang pada prinsipnya berarti jalan.[16]
Dalam al-Qur’an banyak ditemukan kata sunnah. Bentuk jamaknya sunan. Di antaranya sebagai berikut :



1). Q.S. AL-Kahfi/18: 55.
$tBur yìuZtB }¨$¨Z9$# br& (#þqãZÏB÷sムøŒÎ) ãNèduä!%y` 3yßgø9$# (#rãÏÿøótGó¡our öNßg­/u HwÎ) br& öNåkuŽÏ?ù's? èp¨Zß tû,Î!¨rF{$# ÷rr& ãNåkuŽÏ?ù'tƒ Ü>#xyèø9$# Wxç6è% ÇÎÎÈ
Terjemahannya:
Dam tidak ada sesuatupun yang menghalangi manusia dari beriman, ketika petunjuk Telah datang kepada mereka, dan dari memohon ampun kepada Tuhannya, kecuali (keinginan menanti) datangnya hukum (Allah yang Telah berlalu pada) umat-umat yang dahulu atau datangnya azab atas mereka dengan nyata. (Q.S. AL-Kahfi/18: 55).[17]
Kata sunnah dalam firman Allah ini berarti hukum, ketentuan.
 2) Q.S. al-Isra’/ 17: 77.
sp¨Zß `tB ôs% $uZù=yör& šn=ö6s% `ÏB $oYÎ=ß ( Ÿwur ßÅgrB $oYÏK¨YÝ¡Ï9 ¸xƒÈqøtrB ÇÐÐÈ

Terjemahannya:
 (Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul kami yang kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perobahan bagi ketetapan kami itu. (Q.S. al-Isra’/ 17: 77).[18]
Kata sunnah pada firman Allah ini, berarti ketetapan.
Kemudian apabila dilihat dari segi terminologi, kata sunnah dipahami berbeda-beda oleh ulama sesuai dengan disiplin ilmu mereka.
Ulama hadis mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang dihubungkan kepada Nabi saw. Tetapi menurut sebagian ahli hadis, sunnah itu termasuk segala sesuatu yang dihubungkan kepada sahabat atau tabi’in, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun sifat-sifatnya.
Adapun Ulama ushul mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang berasal dari Nabi saw., baik berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan. Asumsinya adalah apapun yang berasal dari Nabi saw., merupakan petunjuk atas cara Nabi saw., dalam memahami dan mengamalkan Islam.
Adapun menurut ahli fikih sunnah adalah hukum syar’I yang menjadi dalil suatu ketetapan. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan salah satu hukum syariat yang lima menurut ahli fikih.[19]
Berdasarkan pengertian sunnah yang telah dikemukakan oleh para ulama, baik ulama hadis, ulama ushul dan ulama fikih. Kesemuanya mengartikan sunnah adala segala sesuatu yang bersumber dari Nabi saw., baik berupa perkataan, perbuatan, tingkah laku dan taqrir, akan tetapi ulama uhul lebih cenderung kepada bagaimana cara memahami dan mengamalkan Islam. Sedangkan ulama fikih lebih cenderung kepada hukum syar’I yang menjadi dalil suatu ketetapan.
b. Khabar
Kata khabar menurut etimologi berarti berita dan keterangan. Sedangkan menurut terminologi sebagaimana yang dikutip oleh Drs. M. Jayadi dalam kitab Taisir Musthalah al-Hadis, h. 14 yang dibuat oleh Mahmud al-Thahan yaitu sebagai berikut:
1). Khabar itu sinonim dengan hadis, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, maupun sifat-sifatnya.
2). Khabar itu berbeda dengan hadis. Khabar adalah sesuatu yang disandarkan kepada seseorang selain Nabi Muhammad saw., sedang hadis adalah segala sesuatu yang khusus disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.
3). Khabar lebih umum dari pada hadis. Khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada siapa saja, baik kepada Nabi Muhammad saw., sahabat, tabiin, maupun kepada orang lain. Sedangkan hadis hanya sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.[20]
4) Pengertian hadis lebih khusus daripada khabar, sehingga setiap hadis pasti khabar, namun tidak setiap khabar pasti hadis.[21]
Adapun ulama hadis yang membedakan pengertian khabar dan hadis berpendapat bahwa hadis itu berasal dari Nabi saw., sedangkan khabar berasal dari selainnya, sehingga orang yang tekun dalam meriwayatkan hadis disebut dengan muhaddits dan mereka yang tekun dalam menukilkan peristiwa-peristiwa sejarah atau sejenisnya disebut dengan akhbary.[22]
c. Atsar
Atsar menurut etimologi berarti sisa-sisa perkampungan, atau yang sejenisnya. Sedangkan menurut terminology terdapat beberapa pendapat juga yiatu :
1) Pengertian atsar identik dengan pengertian hadis, sebagaimana yang dikatakan oleh imam an-Nawawi bahwasanya para ahli hadis marfu’ dan hadis mauquf dengan atsar.
2). Atsar ialah sesuatu yang datang dari sahabat (baik perkataan maupun perbuatan). Dalam hal ini atsar berarti mauquf. Dan ini ditinjau dari segi bahasa yang berarti bekas atau peninggalan sesuatu, karena perkataan dan perbuatan merupakan sisa-sisa atau peninggalan-peninggalan dari Nabi saw.[23]
B. Pandangan Ulama Tentang Hadis dan Sunnah ( Subyek, Obyek, dan Masa )
Berdasarkan penjelasan tentang pengertian hadis, sunnah dan yang bersinonim dengannya di atas yang telah dikemukakan oleh ulama hadis, ushul dan fikih, dapat disimpulkan bahwa para ulama berpandangan bahwa yang menjadi subyek dalam hadis atau sunnah yaitu Rasulullah saw., dan yang menjadi objek yaitu hadis Nabi saw., serta masa yang dimaksudakan yaitu masa yang di mana hadis Nabi saw., menjadi objek kajian yang sangat penting dan strategis, sejak wafatnya Rasulullah saw.
Kajian yang dilakukan pada masa awal yaitu pada saat dilakukannya usaha pengumpulan atau penghimpunan hadis pada pada akhir abad pertama memasuki abad kedua hijriah, yaitu pada  masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz, seperti yang dilakukan oleh Muhammad Ibnu Syihab al-Zuhri dan Muhammad Ibnu Hazm.
Kemudian kajian pada masa berikutnya merupakan langkah penelitian dan pentashihan hadis, sperti yang dilakukan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim dengan menggunakan kriteria tersendiri dalam menilai kualitas sebuah riwayat. Seterusnya sampai pada masa sekarang kajian dilakukan dalam berbagai aspek yang menggunakan berbagai metode dan pendekatan.[24]
C. Perbedaan antara Hadis Nabawi, Hadis Qudsi, dan Al-Qur’an
1. Hadis Nabawi
Pengertian hadis Nabi (Nabawi) saw., sebagaimana yang telah dijelaskan di atas sebelumnya di antarnya bahwa hadis yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun penetapan atau pengakuannya, juga segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabiin baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir.
2.  Hadis Qudsi
Adapun hadis qudsi, menurut etimologi qudsi berarti “suci,berkat”.[25] Sedangkan menurut terminologi, hadis qudsi ialah  maknanya dari Allah yang disampaikan melalui suatu wahyu dan redaksinya dari Nabi saw., yang disandarkan kepada Allah swt. Dalam hadis qudsi Nabi saw., menjelaskan kandungan atau yang tersirat pada wahyu sebagaimana yang diterima dari Allah swt., dengan ungkapan beliau sendiri.[26]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hadis nabawi merujuk kepada wahyu, baik yang dipahami dari kandungan wahyu secara tersirat yang disebut dengan taufiqi maupun yang dipahami dari al-Qur’an secara tersurat yang disebut dengan tawqif[27]i dan inilah makna firman Allah swt., dalam Q.S. An-Najm/53: 3-4:
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ
Terjemahannya :
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Q.S. An-Najm/53: 3-4).[28]
Contoh hadis qudsi sebagaimana yang telah dikutip oleh Drs. M. Jayadi, M.Ag., dalam buku Al-Jami’al fi Ahadis al-Basyir al-Nadzir, h. 126-127, yang ditulis oleh Al-Imam Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr as-Suyuti,  yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu bahwa Allah swt., berfirman :
ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصَمَهُمْ يَوْمَ القِيَامَةِ، وَمَنْ كُنْتُ خَصْمَهُ خَصْمَتُهُ: رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَ رَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَعْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُوَفِّهِ أَجْرَهُ. (رواه ابن ماجه)
Artinya : 
Ada tiga orang yang saya musuhi pada hari kiamat : orang yang berjanji memberiku sesuatu kemudian mengkhianat/menyalahi janjinya, orang yang menjual orang merdeka kemudian memakan harganya, dan orang yang mempekerjakan seseorang, kemudian orang itu menyempurnakan tugasnya, lantaran tidak disempurnakan upahnya. (H.R. Ibn Majah).[29]

3.  Al-Qur’an
Sebagian ulama mengatakan kata al-Qur’an tidak ada akar katanya, ia merupakan nama bagi kalam Allah swt., (‘alam murtajal). Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa al-Qur’an berasal dari kata قَرَأَ- يَقْرَأُ – قُرْاءَةً – وَ قُرْآنًا yang berarti bacaan atau yang dibaca.
Dalam istilah para ulama banyak yang memberikan defenisi dengan berbagai redaksi, salah satunya adalah sebagaimana yang dikatakan Dr. Shubhi dalam bukunya Mabahits fi Ulum al-Qur’an yang dikutip oleh Dr. H. Abdul Majid Khon sebagai berikut:
الكَلَامُ الـمُعْجِزُ الـمُنَزَّلُ عَلَى النَّبِي صلى الله عليه وسلم الـمَكْتُوْبُ فِيْ المصَاحِفِ الـمـَنْقُوْلُ عَنْهُ بِالتَّوَاتِرِ الـمـُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ
Artinya :
Kalam Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan kepada Nabi saw., tertulis pada mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, dan dinilai ibadah dengan membacanya.[30]
Berdasarkan pengertian hadis Nabi (Nabawi), hadis qudsi dan al-Qur’an di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa perbedaan antara ketiganya yaitu :
1). Hadis Nabi ataupun hadis Qudsi bukan termasuk mukjizat bagi Nabi saw., sedangkan al-Qur’an merupakan mukjizat bagi Nabi saw.
2). Al-Qur’an redaksi atau lafal dan maknanya dari Allah swt., dan hadis qudsi maknanya dari Allah swt., redaksinya dari Nabi sendiri sesuai dengan maknanya. Serta hadis nabawi berdasarkan wahyu Allah swt., atau ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah saw., yang sesuai dengan wahyu.
3). Membaca al-Qur’an bernilai ibadah, sedangkan membaca hadis Nabawi atau hadis Qudsi tidak bernilai ibadah kecuali disertai dengan niat yang baru.
D. Unsur-Unsur Hadis dan Klasifikasi Hadis dari Segi Kuantitas dan Kualitas
1. Unsur-Unsur Hadis
a). Sanad
Sanad berasal dari kata dasar  سَنَدَ- يَسْنَدُ yang berarti bersandar dan jamaknya اسناد artinya tempat bersandar atau menyandarkan sesuatu kepadanya. Sanad atau tariqah yang berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada matan.[31]
Sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Dr. H. Ambo Asse di dalam kitab Ahmad Muhammad Syakir yang berjudul Al-Fiyah Al-Syuyuthi fi Ilmi al-Hadis halaman 2, Al-Suyuthi (w. 911 H- 1.505 M), berpendapat bahwa sanad adalah menerangkan jalan yang menyampaikan kepada matan seperti isnad menurut sebagian ulama.[32]
Sanad hanyalah yang berlaku pada sederetan mata rantai orang-orang, bukan dari sudut pribadi secara perorangan. Sebab sebutan untuk perorangan yang menyampaikan hadis adalah perawi atau rawi.[33]
Dengan demikian sanad yaitu sandaran hadis yang menghubungkan sampai ke matan (isi) hadist.
b) Matan
Matan (متن) artinya kuat, kokoh, teguh, atau keras. Matan juga berarti teks book, sesuatu yang tegak. Matan juga berarti pembicaraan atau materi berita yang dioever oleh sanad yang terakhir.[34]
Menurut Istilah matan adalah
مَا يَنْتَهِي إِلَيْهِ السَّنَدُ مِنَ الكَلَامِ
Artinya : sesuatu kalimat setelah berakhirnya sanad.
Berbagai redaksi defenisi matan yang diberikan para ulama, tetapi intinya sama, yaitu materi atau isi berita hadis itu sendiri yang datang dari Nabi saw. matan ini sangat penting karena yang menjadi topic kajian dan kandungan syariat Islam untuk dijadikan petunjuk dalam beragama.[35]
Dengan demikian matan hadis yaitu isi hadis itu sendiri.
c) Rawi
Secara etimologi kata rawi berasal dari bahasa Arab  رَاوِي adalah isim fi’il dari lafal روي yang bentuk masdarnya adalah  رِوَايَة yang berarti meriwayatkan, memindahkan, atau menceritakan.  رَوِي عن artinya dia meriwayatkan sebuah berita dari seorang sebagai gurunya, sedangkan رَوِي عنه artinya orang yang meriwayatkan dari padanya (sebagai muridnya).  الرِّوَايَةُ artinya kegiatan penerimaan yang menyampaikan hadis atau berita dari Nabi saw., serta penyandaran sebuah berita kepada para periwayat yang terlibat dalam rangkaian periwayatan hadis dalam bentuk-bentuk tertentu.[36]
Periwayat adalah orang yang terlibat dalam melakukan dua buah kegiatan, yaitu menerima riwayat atau berita dari seseorang guru atau dari Rasulullah saw., kemudian menyampaikan riwayat atau berita itu kepada orang lain atau muridnya. Periwayat pertama adalah seorang sahabat yang menerima riwayat dari Nabi saw., kemudian dia menyampaiakan riwayat itu kepada orang lain yang datang berguru atau belajar kepadanya, baik yang datang itu adalah sahabat, maupun para tabiin, kemudian mereka lagi menyampaikan kepada muridnya turun temurun dan berkesinambungan, akhirnya sampai kepada periwat terakhir yang dikenal dengan sebutan mukharij. Mereka adalah ulama hadis yang secara bersambung-sambung antara satu periwayat dengan periwayat yang lain dalam hubungannya sebagai guru dan murid.[37]
Dengan demikian rawi yaitu periwayat hadis atau yang meriwayatkan hadis Nabi saw.
2. Klasifikasi Hadis dari Segi Kuantitas dan Kualitas
a. Hadis ditinjau dari Segi Kuantitas
Hadis ditinjau  dari kuantitas yaitu dilihat dari jumlah perawi dalam sanad yang terbagi menjadi dua macam yaitu: hadis mutawatir dan hadis ahad.[38]
1. Hadis Mutawatir
Mutawatir (مُتَوَاتر) dalam bahasa memiliki arti yang sama kata مُتَتَابِع yang artinya berurutan atau beriring-iringan antara satu dengan yang lain tanpa ada jarak. Sedangkan menurut istilah adalah:
هُوَ الَّذِي يَرْوِيْهِ فِي كُلِّ طَبَقَةٍ مِنْ طَبَقَاتِ سَنَدِهِ رِوَاةٌ كَثِيْرُوْنَ يَحْكُمُ العَكْلُ عَادَةً بِاسْتِحَالَةٍ أَنْ يَكُوْنَ أُولَئِكَ الرُّوَاةُ قَدْ تَفَقُّو عَلَى اخْتِلَافِ هَذَا الخَبَر.
Artinya:
Hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat pada setiap tabaqa, para periwayat yang banyak dan periwayat itu mustahil menurut akal sepakat untuk berdusta.[39]
مَا كَانَ عَنْ مَحْسُوْسٍ أَخْبَرَ بِهِ جَمَاعَةٌ بَلَغُوْا فِي الكَثْرَةِ مَبْلَغًا تَحِيْلُ العَادَةِ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الكَذِبِ
Artinya:
Hadis yang didasarkan pada pancaindra (dilihat atau didengar) yang diberikan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat berdusta[40].
Ada tiga macam hadis mutawatir yaitu lafzhy, ma’nawy, dan amaly.[41]
Berdasarkan beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadis mutawatir yaitu hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang yang tidak terputus dari sanadnya dan mustahil dari mereka ada yang berdusta.
2. Hadis Ahad
Secara etimologi kata ahad berasal dari bahasa Arab أحد yang jamaknya أحاد yang berarti satu, tunggal, esa.[42]  Menurut terminologi hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang atau dua orang periwayat ataupun lebih yang tidak mencapai derajat mutawatir.[43] Hadis ahad terbagi dua yaitu hadis masyhur dan ghairu masyhur.[44]
Dengan demikian, hadis ahad yaitu hadis yang diriwayatkan oleh satu perawi atau lebih namun tidak mencapai derajat hadis mutawatir.
b. Hadis ditinjau dari Segi Kualitas
Hadis ditinjau dari segi kualitas dapat dilihat dari kualitas sanad dan matannya. Hadis ini terbagi menjadi tiga macam yaitu hadis shahih, hadis hasan dan hadis dhaif.[45]
1). Hadis Shahih
Kata shahi menurut etimologi berarti sehat kebalikan dari sakit, dan menjadi bahasa Indonesia dengan arti sah, benar, sempurna, sehat.[46] Sedangkan menurut istilah sebagaimna yang dikutip oleh KH. M. Ma’shum Zein di dalam kitab At-Tadrib Ar-Rawiy Syarkh Taqrib An-Nawawi halaman 45, yang ditulis oleh Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr As-Suyuthi bahwasanya  As-Suyuti berpendapat bahwa: Hadis shahih ialah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit dan tidak ditemukan kejanggalan, tidak juga ber’illat.[47]
Berdasarkan penegrtian di atas dapat dipahami bahwa hadis dikatakan shahih apabila sanadnya bersambung, perawinya adil, perawinya dhabit, tidak ada kejanggalan, dan tidak terdapat kecacatan di dalamnya.  
2) Hadis Hasan
Kata حسن secara etimologi berarti sesuatu yang baik dan bagus. Sedangkan mmenurut terminologi hadis hasan adalah hadis yang muttasil sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, tetapi kadar kedhabitannya di bawah kedhabitan hadis shahih, dan hadis itu tidak syadz (kejanggalan) dan tidak pula terdapat illat (cacat).[48]
Hadis hasan adalah hadis yang tidak mencapai kualitas  hadis shahih dan juga tidak jatuh pada status kualitas hadis dhaif. Hal ini berarti bahwa kualitas hadis hasan tidak jauh dari kualitas hadis shahih. Kriteria hadis shahih berlaku untuk hadis hasan kecuali sedikit berbeda pada kualitas kedhabitannya.[49]



3) Hadis Dhaif
Hadis da’aif salah satu jenis hadis jika dilihat dari segi kualitasnya yang berarti lemah. Kata dhaif secara etimoogi berarti lemah yang merupakan lawan dari qawiy (kuat), sinonim dara marid (sakit).[50]
Adapun menurut terminologi sebagaimana yang disebutkan oleh Imam an-Nawawiy :
الحَدِيْثُ الضَّيْفُ هُوَ مَا لَمْ يُوْجَدْ فِيْهِ شُرُوْطٌ مِنْ شُرُوْطِ الحَسَنِ
Artinya :
Hadis yang di dalamnya tidak ditemukan syarat-syarat yang wajib ada dalam hadis shahih dan hasan.[51]
Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa apabila sebuah hadis tidak memiliki satu saja syarat dari beberapa yang yang terdapat di dalam hadis hasan maka hadis tersebut dinyatakan hadis dhaif.
E. Otoritas Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, Kedudukan dan Fungsi Hadis, dan Ingkar as-Sunnah
1. Otoritas Nabi Muhammad saw
Nabi Muhammad saw., atau Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib al-Hasyimi al-Quraisy al-Arabi yang berasal dari keturunan Nabi Ismail bin Ibrahim al-Khalil ‘alaihi salam adalah hamba Allah dan Rasulnya yang diutus kepada segenap umat manusia, baik yang berkulit merah maupun yang berkulit putih, dan dengan kenabiannya Allah menutup dan mengakhiri kenabian dan kerasulan. Maka tidak ada nabi dan tidak pula rasul sesudah beliau.
Nabi Muhammad saw., telah didukung dengan beberapa mukjizat dan diutamakan atas segenap nabi, sebagaimana umatnya telah diutamakan atas segenap umat. Allah swt., telah mewajibkan cinta kepadanya, memastikan taat kepadanya dan mengharuskan muthaba’ah (mengikutinya). Allah swt.,  juga telah memberikan kelebihan-kelebihan (khasaish) kepada beliau yang belum pernah diberikan kepada siapapun selain beliau, yang di antaranya adalah al-Washilah, al-Kautsar (telaga di padang mahsyar), al-Haudah (kolam), dan al-Maqam al-Mahmud (kedudukan yang termulia).[52]
Di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Rasulullah adalah contoh teladan terbaik (qudwah hasanah) umat manusia dan rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil alamin). Aisyah r.a., meneybut beliau sebagai al-Qur’an yang berjalan. Karena beliau telah mengaplikasikan seluruh isi al-Qur’an dengan sempurna.[53]
Allah swt., berfirman di dalam Q.S. Al-Maidah/5 :19.
Ÿ@÷dr'¯»tƒ É=»tGÅ3ø9$# ôs% öNä.uä!%y` $uZä9qßu ßûÎiüt7ムöNä3s9 4n?tã ;ouŽøIsù z`ÏiB È@ߍ9$# br& (#qä9qà)s? $tB $tRuä!%y` .`ÏB 9ŽÏ±o0 Ÿwur 9ƒÉtR ( ôs)sù Nä.uä!%y` ׎Ï±o0 ֍ƒÉtRur 3 ª!$#ur 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ֍ƒÏs% ÇÊÒÈ
Terjemahannya :
Hai ahli kitab, Sesungguhnya Telah datang kepada kamu Rasul kami, menjelaskan (syari'at kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul agar kamu tidak mengatakan: "Tidak ada datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan". Sesungguhnya Telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. Al-Maidah/5 :19).[54]
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa otoritas Nabi Muhammad saw., adalah sangat agung, beliau adalah seorang Nabi dan Rasul yang membawa risalah atau syariat Islam secara sempurna, menjadi teladan yang terbaik dan menjadi rahmat bagi alam semesta.
2. Kedudukan Hadis dan Fungsi Hadis
a.) Kedudukan Hadis
Hadis atau sunnah  adalah sumber Islam yang kedua. Mustafa al-Siba’iy dalam bukunya Al- Sunnatu wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islamiy  halaman 343, yang dikutip oleh Prof. Dr. H. Ambo Asse, menyatakan bahwa umat Islam sejak dahulu sampai sekarang telah sepakat (ijma’) menetapkan bahwa hadis atau sunnah Rasulullah berupa perkataan, perbuatan dan pengakuannya, merupakan dasar atau sumber hukum Islam yang wajib diikuti.[55]
Allah swt., berfirman dalam Q.S Al-Hasy/59 :7.
!... ãNä39s?#uä$tBur ãAqß§9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù ....
Terjemahannya :
apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. (Q.S Al-Hasy/59 :7).[56]

Rasulullah saw., bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا، كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ نَبِيِّهِ


Artinya :
Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, jika kalian berpegang teguh dengan keduanya, niscaya kalian tidak sesat selama-lamanya yaitu: kitabullah dan sunnah NabiNya. (H.R. Malik secara mursal, al-Muwathta, Juz.2, h.999).
Dengan demikan bahwa hadis atau sunnah adalah sumber pokok yang kedua setelah al-Qur’an di dalam agama Islam.
b). Fungsi Hadis
Yang dimaksudakan di sini adalah fungsi hadis terhadap al-Qur’an yaitu sebagai berikut :
1). Bayan Ta’kidiy
Bayan adalah penejlasan dan ta’kid adalah penetapan kembali atau penguat. Jadi bayan ta’kid dimaksud sebagai penjelasan hadis terhadap al-Qur’an dengan maksud untuk mengokohkan atau menguatkan apa yang telah terkandung dalam al-Qur’an.[57]
Contoh : hadis riwayat Muslim dari ibnu umar tentang puasa.
فَإِذَا رَأَيْتُمْ الهِلَالَ فَصُوْمُوْا وَ إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَافْطِرُوْا
Artinya:
Jika kamu sekalian melihat (ru’yah) bulan, berpuasalah. Dan jika melihat (ru’yah) bulan, berbukalah. (H.R. Muslim).
Hadis ini mempertegas ketentuan ayat, Q.S. al-Baqarah/2: 185.
... yÍky­`yJsù ãNä3YÏB tök¤9$# çmôJÝÁuŠù=sù.... (


Terjemahannya:
 …Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu…. (Q.S. al-Baqarah/2: 185).[58]
2). Bayan Tafsiriy
Yaitu penjelasan hadis terhadap ayat al-Qur’an dengan maksud menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global.
Contoh: hadis tentang tata cara shalat
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّى
Artinya :
Shalatlah kamu sekalian sebgaimana engakau sekalian melihat aku shalat. (H.R. Bukhari).
Hadis ini menjelaskan ayat berikut:
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
Terjemahnnya:
Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang rukuk. (Q.S. al-Baqarah/2: 43).[59]
3) Bayan Tabdil atau Nasakh
Yaitu mengganti atau menasakh suatu hukum yang terkandung dalam ayat al-Qur’an.
Contoh: hadis yang diriwayatkan oleh imam at-Tirmizi dan Ibnu Majah.
... إِنَّ اللهَ أَعْطَى لِكُلِّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ


Artinya :
… Sesungguhnya Allah telah memberi hak bagian bagi orang-orang yang benar-benar memiliki hak untuk itu, makanya tidak ada wasiat bagi ahli waris. (H.R. at-Tirmizi dan Ibnu Majah).
Hadis ini menaskh Q.S. al-Baqarah/2: 180.
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
Terjemahnnya:
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. ( Q.S. al-Baqarah/2: 180)[60]
4) Bayan Tasyri’I atau Ziyadah
Yaitu yaitu memebentuk hukum yang tidak ada di dalam al-Qur’an, atau sudah ada tetapi khusus pada masalah-masalah pokok saja.[61]   
Contoh: hadis tentang bangkai ikan laut.
فِي البَحْرِ هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ وَالحِلُّ مَيْتَتُهُ
Artinya :
Laut itu airnya suci dan mensucikan, bangkainya pun halal. (H.R. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I, dan Ibnu Majah).[62]
3. Ingkar as-Sunnah
Ingkar Sunnah terdiri dari dua kata yaitu ingkar dan sunnah. Ingkar menurut bahasa Arab berasal dari kata kerja, Ankara-yunkiru-ingkaran (أنكر- ينكر-إنكارا) artinya “menolak atau mengingkari”. Secara definitif ingkar sunnah dapat diartikan suatu nama atau aliran atau suatu paham keagamaan dalam masayrakat Islam yang menolak atau mengingkari sunnah untuk dijadikan sebagai sumber sandaran dasar syariat Islam.
Dengan demikian ingkar dapat diartikan secara luas yaitu menolak, tidak mengakui, dan tidak menerima sesuatu, baik lahir maupun batin atau lisan dan hati yang dilator belakangi oleh faktor ketidaktahuannya atau faktor lain, misalnya karena gengsi, kesombongan, keyakinan, dan lain-lain.[63]
Demikian juga yang dikemukakan oleh Imam Syafi’I dengan pernyataan berikut:
إِنْكَارُ السُنَّةِ هُوَ الطَّائِفَةُ الَّتِي رَدَّتْ الأَخْبَارَ كُلَّهَا
Artinya:
Ingkar sunnah adalah kelompok yang bersikap menolak seluruh hadis sebagai satu sumber ajaran Islam.[64]
Dengan demikian ingkar as-Sunnah dapat dipahami bahwa sesorang atau kelompok yang mengingkari hadis atau sebuah pemahaman yang menolak sunnah yang datang dari Rasulullah saw., yang merupakan sumber hukum yang kedua dalam agama Islam setelah al-Qur’an.






III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang penulis telah kemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Para ulama saling berbeda pendapat tentang hadis atau yang besinonim dengannya yaitu sunnah, khabar, atsar dari sudut pandang yang berbeda dan aspek-aspek yang menjadi pokok kajian di kalangan ulama.
2. Hadis atau Sunnah merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an yang memiki fungsi yang sangat eksitensi terhadap al-Qur’an walaupun ada sebagian pemahaman atau kelompok yang mengingkari hal tersebut, yang disebut dengan Ingkar as-Sunnah. Wallahu ta’ala  a’lam.













Daftar Pustaka
Al- Mubarakfury, Shafiyyurrahman. Shahih Sirah Nabawiyah.   Cet.6; Bandung: Jabal, 2017.
Ali, Atabik dan Ahmad Zyhdi Mudhar. Qamus Krabyak Al-Asri, Arabiy- Indunisy. Yogyakarta: Muliti Karya Grafika, 1998.
al-Jaza’iri, Abu Bakar Jabir. Minhajul Muslim (Konsep Hidup Ideal dalam Islam. Cet.17; Jakarta: Darul  Haq, 1438 H/ 2017 M.
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. Usul al-Hadis Ulumuhu wa Musthalahuh. Bairut: Dar al-Fikr, 1989.
Al-Maliki, Muhammad Alawi. Ilmu Ushul Hadis.  Cet.3; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Al-Qardhawi, Yusuf. Pengantar Studi Hadis.  Cet. 1; Bandung: Pustaka Setia, 2007.
al-Tahhan, Mahmud. Taysir Mushthalahul Hadis.  Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 1407 H/1987 M.
An-Nawawiy, Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf. Shahih Muslim bi Syarkh an-Nawawiy. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Asse, Ambo. Ilmu Hadist (Pengantar Memahami Hadits Nabi Saw). Makassar: Dar al-Hikmah al-Ulum Alauddin Press, 2014.
Asy-Syafi’I.  Al-‘um.  J.7; Beirut Libanon: Dar al-Fikr al-Islamiy, t.t.
Atsqalani, Ibnu Hajar. Buluughul Maram Min Adilatil Ahkam (Terjemahan). Cet. 7; Bandung: Gema Risalah Press, 2012.
Ismail, M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa, 1991.
Jayadi, M. Metodologi Kajian HAadits.  Cet.1; Makassar : Alauddin University Press, 2012.
Kementrian  Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarata: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis.  Cet.2; Jakarta: Amzah, 2013.
Maidan, Muhammad Sabir. Ingkar Sunnah/Hadis 1 (Dalam Perspektif Historis). Cet. 1; Makassar: Alauddin University Press, 2012.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Cet. 14; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir Al-Qur’an, 1973.
Zein, M. Ma’shum. Ilmu Memahami Hadist Nabi. Cet.1; Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2014.



[1]M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis,  (Bandung: Angkasa, 1991), h. 130.
[2]Muhammad Sabir Maidan, Ingkar Sunnah/Hadis 1 (Dalam Perspektif Historis), (Cet. 1; Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 2.
[3]Kementrian  Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarata: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 526.
[4]Abdul majid Khon, Ulumul Hadis, (Cet.2; Jakarta: Amzah, 2013), h. v.
[5]Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (Cet. 14; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 242.
[6]M. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadist Nabi, (Cet.1; Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2014), h. 1-2.
[7]M. Jayadi, Metodologi Kajian Hadis, (Cet.1; Makassar : Alauddin University Press, 2012), h. 30.
[8]Kementrian  Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 525.
[9]Kementrian  Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 92.
[10]Kementrian  Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 236.
[11]Ambo Asse, Ilmu Hadist (Pengantar Memahami Hadits Nabi Saw),(Makassar: Dar al-Hikmah al-Ulum Alauddin Press, 2014), h. 1-2.
[12]M. Jayadi, Metodologi Kajian HAadits,h. 33.
[13]Ambo Asse, Ilmu Hadist (Pengantar Memahami Hadits Nabi Saw), h. 2.
[14]Ambo Asse, Ilmu Hadist (Pengantar Memahami Hadits Nabi Saw), h. 3.
[15]Ambo Asse, Ilmu Hadist (Pengantar Memahami Hadits Nabi Saw), h. 5.
[16]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (Cet.3; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 3.
[17]Kementrian  Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 300.
[18]Kementrian  Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 290.
[19]Yusuf Al-Qardhawi, Pengantar Studi Hadis, (Cet. 1; Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 20.
[20]M. Jayadi, Metodologi Kajian HAadits,h. 41.
[21]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, h. 46.
[22]Ambo Asse, Ilmu Hadist (Pengantar Memahami Hadits Nabi Saw), h. 7.
[23] Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, h. 47.
[24]Ambo Asse, Ilmu Hadist (Pengantar Memahami Hadits Nabi Saw), h. 78.
[25]Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir Al-Qur’an, 1973), h. 332.
[26]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Cet. 2; Jakarta: Amzah, 2013), h. 14.
[27]M. Jayadi, Metodologi Kajian HAadits,h. 201.
[28]Kementrian  Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 526.
[29]M. Jayadi, Metodologi Kajian HAadits,h. 201.
[30]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 16.
[31]Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, h. 666.
[32]Ambo Asse, Ilmu Hadist (Pengantar Memahami Hadits Nabi Saw), h. 18.
[33]M. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadist Nabi, h. 21.
[34]Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, h. 1307.
[35]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 113-114.
[36]Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, h. 551.
[37]Ambo Asse, Ilmu Hadist (Pengantar Memahami Hadits Nabi Saw), h. 16.
[38]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 142.
[39]Mahmud al-Tahhan, Taysir Mushthalahul Hadis, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 1407 H/1987 M), h. 19.
[40]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 146.
[41]Ibnu Hajar Atsqalani, Buluughul Maram Min Adilatil Ahkam (Terjemahan), (Cet. 7; Bandung: Gema Risalah Press, 2012), h. xxiii.
[42]Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, h. 10-11.
[43]Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumuhu wa Musthalahuh, (Bairut: Dar al-Fikr, 1989), h. 373.
[44]Ibnu Hajar Atsqalani, Buluughul Maram Min Adilatil Ahkam (Terjemahan), h. xxiii.
[45]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 142.
[46]Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, h. 764.
[47]M. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadist Nabi, h. 112.
[48]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, h. 59.
[49]Ambo Asse, Ilmu Hadist (Pengantar Memahami Hadits Nabi Saw), h. 114.
[50]Atabik Ali dan Ahmad Zyhdi Mudhar, Qamus Krabyak Al-Asri, Arabiy- Indunisy, (Yogyakarta: Muliti Karya Grafika, 1998), h. 1209.
[51]Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf An-Nawawiy, Shahih Muslim bi Syarkh an-Nawawiy, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), h. 19.
[52]Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Minhajul Muslim (Konsep Hidup Ideal dalam Islam, (Cet.17; Jakarta: Darul  Haq, 1438 H/ 2017 M), h. 44.
[53]Shafiyyurrahman Al- Mubarakfury, Shahih Sirah Nabawiyah, (Cet.6; Bandung: Jabal, 2017), h. iii.
[54]Kementrian  Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 111.
[55]Ambo Asse, Ilmu Hadist (Pengantar Memahami Hadits Nabi Saw), h. 69.
[56]Kementrian  Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 546.
[57]Muhammad Sabir Maidan, Ingkar Sunnah/Hadis 1 (Dalam Perspektif Historis), h. 116.
[58]Kementrian  Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 28.
[59]Kementrian  Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 7.
[60]Kementrian  Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 27.
[61]M. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadist Nabi, h. 54.
[62]Ibnu Hajar Atsqalani, Buluughul Maram Min Adilatil Ahkam (Terjemahan), h. 1.
[63]Muhammad Sabir Maidan, Ingkar Sunnah/Hadis 1 (Dalam Perspektif Historis), h. 50-51.
[64]Asy-Syafi’I, Al-‘um, (J.7; Beirut Libanon: Dar al-Fikr al-Islamiy, t.t), h. 250.

1 komentar: