I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada masa Nabi
saw., al-Qur’an telah didokumentasikan oleh juru tulis wahyu, selain itu juga
para sahabat sangat fokus perhatiannya menhafal al-Qur’an, sehingga hafalan
para sahabat menjadi rujukan tulisan para kuttab. Hal ini berarti, bahwa
masa Rasulullah saw., al-Qur’an telah dipelihara baik dalam bentuk tulisan
maupun dalam bentuk hafalan. Bahkan pembukuan al-Qur’an telah dilaksanakan pada
masa khalifah Abu Bakar (w. 13 H/ 634 M), kemudian disempurnakan dan sibukukan
pada masa khalifah Usman bin Affan (w. 35 H/ 656 M) dan catatan di kalangan
sahabat tetap terpelihara dengan sempurna.[1]
Penafsiran
mengenai isi dan kandungan al-Qur’an dijelaskan melalui Nabi saw., lewat
tingkah laku atau perilaku, ucapan, dan amalan yang dilakukannya, karena segala
sesuatu yang terlontar dari Rasulullah saw., adalah benar, akurat, valid dan
tidak terdapat kesia-siaan sedikitpun.[2]
Sebagaimana yang tercantum dalam Q.S. An-Najm/ : 3-4.
$tBur ß,ÏÜZt Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ
Terjemahannya :
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
(Q.S. An-Najm/53: 3-4).[3]
Ulumul hadis
adalah salah satu bidang studi atau mata kuliah yang sangat penting bagi para
pelajar, peserta didik, dan mahasiswa yang ingin memepelajari hadis dan
keislaman secara mendalam, baik di Pesantren, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah
Aliyah, maupun Perguruan Tinggi. Hadis
adalah segala perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi yang dijadikan dasar
hukum Islam setelah al-Qur’an. Sedangkan ulumul hadis adalah ilmu yang
mengantar umat Islam untuk memahami kajian hadis dengan mudah dan benar.
Artinya, seseorang tidak mampu memahami hadis dan permasalahannya secara benar
tanpa mengetahui ulumul hadis terlebih dahulu. Ibarat seseorang tidak akan
dapat sampai ke loteng dengan aman tanpa melalui tangga. Tangga inilah yang
disebut ulumul hadis untuk sampai kepada pemahaman hadis.[4]
Dengan begitu
pentingnya ilmu tentang ulumul hadis terhadap umat Islam pada dewasa ini,
sehingganya pada makalah ini akan dibahas atau disajikan pembahasan
tentang salah satu sub pokok dalam ilmu
ulumul hadis yaitu Hadis dan Sunnah (Ditinjau dari segi Ontologis,
Epistomologis, dan Aksiologis).
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa
Pengertian Hadis, Sinonim Hadis dan Sunnah ?
2. Bagaimana Pandangan Ulama tentang Hadis dan
Sunnah ( Subyek, Obyek, dan Masa ) ?
3. Apa
Perbedaan antara Hadis Nabi, Hadis Qudsi, dan Al-Qur’an ?
4. Apa saja
Unsur-Unsur Hadis dan Klasifikasi Hadis dari Segi Kuantitas dan Kualitas ?
5. Bagaimana
Otoritas Nabi saw., Kedudukan dan Fungsi Hadis, dan Ingkar as-Sunnah ?
C.
Tujuan dan Manfaat
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka dapat diketahui tujuan dari makalah ini yaitu
sebagai berikut :
1. Dapat mengetahui Pengertian Hadis, Sinonim
Hadis dan Sunnah
2. Dapat
mengetahui Pandangan Ulama tentang Hadis dan Sunnah ( Subyek, Obyek, dan Masa
).
3. Dapat
mengetahui Perbedaan antara Hadis Nabi, Hadis Qudsi, dan Al-Qur’an.
4. Dapat
mengetahui Unsur-Unsur Hadis dan Klasifikasi Hadis dari Segi Kuantitas dan
Kualitas.
5. Dapat
mengetahui Otoritas Nabi saw., Kedudukan dan Fungsi Hadis, dan Ingkar
as-Sunnah.
Adapaun
manfaatnya yaitu :
1. Bagi Penulis
: dapat menambah wawasan penulis tentang hadis dan sunnah (ditinjau dari segi Ontologis,
Epistomologis, dan Aksiologis), yang terdapat di dalamnya pengertian hadis,
sinonim hadis dan sunnah, pandangan ulama tentang hadis dan Sunnah ( subyek,
obyek, dan masa ), perbedaan antara hadis Nabi, hadis qudsi, dan al-Qur’an,
unsur-unsur hadis dan klasifikasi hadis dari segi kuantitas dan kualitas, dan
otoritas Nabi saw., kedudukan dan fungsi hadis, dan ingkar as-Sunnah.
2. Bagi pembaca
: dapat menambah wawasan pembaca dan referensi tentang hadis dan sunnah
(ditinjau dari segi Ontologis, Epistomologis, dan Aksiologis), yang terdapat di
dalamnya pengertian hadis, sinonim hadis dan sunnah, pandangan ulama tentang
hadis dan Sunnah ( subyek, obyek, dan masa ), perbedaan antara hadis Nabi,
hadis qudsi, dan al-Qur’an, unsur-unsur hadis dan klasifikasi hadis dari segi
kuantitas dan kualitas, dan otoritas Nabi saw., kedudukan dan fungsi hadis, dan
ingkar as-Sunnah.
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian, Sinonim
Hadis dan Sunnah
1. Pengertian Hadis
Kata al-hadȋts
(الحديث)
adalah kata mufrad, yang jamaknya al-ahādȋts (الأحاديث) dan dasarnya adalah tahdȋts (تحديث),
yang berarti pembicaraan. Kata Hadis juga terdapat dalam kamus yang
berarti baru, perkataan, percakapan,
kabar berita, cerita dan hikayat.[5] Dari sisi bahasa yang lain sebagaimana yang
dikutip oleh M. Ma’shum Zein dalam Tafsir Mushtalah al-Hadis h. 16,
karangan al-Tahan kata hadist memiliki beberapa arti, di
antranya ialah :
a. Al-Jadȋd (الجديد),
artinya yang baru. Lawan kata al-qadȋm (القديم), artinya yang lama, dalam arti ini menunjukkan
adanya waktu dekat dan singkat.
b. Ath-Tharȋqah
(الطريقة),
artinya jalan yaitu الطريقة المسلوكة (jalan yang ditempuh).
c. Al-Khabar (الخبر),
artinya berita
d. As-Sunnah (السنة)
artinya, perjalanan yang memiliki kesamaan arti dengan kata as-sȋrah (السيرة).[6]
Dalam al-Qur’an
terdapat banyak kata hadis. Disebutkan sebanyak 23 (dua puluh tiga) kali dalam
bentuk mufrad dan 5 (lima) kali dalam bentuk jamak.[7] Di antaranya :
1.) Q.S.
al-Thur/52 : 34.
(#qè?ù'uù=sù ;]Ïpt¿2 ÿ¾Ï&Î#÷WÏiB bÎ) (#qçR%x. úüÏ%Ï»|¹ ÇÌÍÈ
Terjemahannya
:
Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al
Quran itu jika mereka orang-orang yang benar. (Q.S. al-Thur/52 : 34).[8]
Kata hadis
dalam ayat ini berarti kalimat.
2). Q.S.
an-Nisa/4: 87.
ª!$# Iw tm»s9Î) wÎ) uqèd 4 öNä3¨YyèyJôfus9 4n<Î) ÏQöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# w |=÷u ÏmÏù 3 ô`tBur ä-yô¹r& z`ÏB «!$# $ZVÏtn ÇÑÐÈ
Terjemahannya
:
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia.
Sesungguhnya dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat, yang tidak ada keraguan
terjadinya. dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada
Allah ? (Q.S. an-Nisa/4: 87).[9]
Kata hadis dalam ayat ini berarti perkataan.
3). Q.S. Yusuf/12: 6.
y7Ï9ºxx.ur Î;tFøgs y7/u y7ßJÏk=yèãur `ÏB È@Írù's? Ï]Ï%tnF{$# OÏFãur ¼çmtFyJ÷èÏR øn=tã #n?tãur ÉA#uä z>qà)÷èt !$yJx. $yg£Jn@r& #n?tã y7÷uqt/r& `ÏB ã@ö6s% tLìÏdºtö/Î) t,»ptôÎ)ur 4 ¨bÎ) y7/u íOÎ=tæ ÒOÅ3ym ÇÏÈ
Terjemahannya
:
Dan Demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan
diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta'bir mimpi-mimpi dan
disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya'qub, sebagaimana
Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada dua orang bapakmu sebelum itu,
(yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sesungguhnya Tuhanmu Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana. (Q.S. Yusuf/12: 6).[10]
Kata hadist
dalam ayat di atas dalam bentuk jamak yang berarti mimpi-mimpi.
Berdasarkan
beberapa pengertian hadis secara etimologi di atas, dapat dipahami bahwa kata
hadis dilihat dari segi etimologi mempunyai banyak arti. Di antaranya yaitu
berarti kalimat, perkataan, berita, informasi, yang baru, percakapan, cerita,
hikayat dan mimpi.
Adapun
pengertian al-Hadis menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam memberi defenisi
kata hadis seperti yang dikemukakan oleh mereka, antara lain :
1. Menurut Ulama
Hadis
Ulama
hadis memberi defenisi hadis sebagai berikut :
Sebagaimana
yang telah dikutip oleh Prof. Dr. H. Ambo Asse dalam kitab as-Suunah wa
Makanatuha fi Tasyri al-Islami, h. 35, yang ditulis oleh Mustafa al-Sibawai
yaitu :
مَا أُثِرَ عَنِ النَّبِيِّ صلى
الله عليه وسلم مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةٍ خَلْقِيَّةٍ
أَوْ خُلُوْقِيَّةٍ أَوْ سِيْرَةٍ سَوَاءٌ قَبْلَ البَعْثَةِ أَوْ بَعْدَهَا
Artinya
:
Apa yang ditinggalkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallama berupa
perkataan, taqrir, sifat-sifat kepribadian, atau perjalanan hidupnya baik
sebelum maupun sesudah beliau diangkat menjadi Rasul.[11]
Sebagaimana pula yang telah dikutip oleh Drs. M. Jayadi dalam kitab
Qawaid al-Tahdits Min Funun Mushtalah, h. 61, yang ditulis oleh Muhammad
Jamal al-Din al-Qasimiy, yaitu :
مَا
أُضِيْفَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ
تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَة
Artinya:
Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., berupa sabda,
perbuatan, taqrir (penetapan), atau sifat.[12]
Berdasarkan dua
penegertian hadis secara terminologi menurut ulama hadis di atas, dapat
dipahami bahwa hadis itu terbatas dan khusus menunjuk kepada sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi saw., dan tidak termasuk sesuatu yang disandarkan
kepada orang lain, khususnya kepada sahabat dan tabi’in.
2. Menurut
Ulama Ushul
Sebagaimana
yang telah dikutip oleh Prof. Dr. H. Ambo Asse dalam kitab Ushul al-Hadis
Ulumuha wa Musthalahuhu, h. 28, yang ditulis oleh Muhammad Ajjaj al-Khatib,
yaitu :
مَا يَرْوِي عَنْ رَسُوْلِ
اللهِ صلى الله عليه وسلم بَعْدَ النُّبُوَّةِ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ
تَقْرِيْرٍ
Artinya:
Apa yang diriwayatkan dari Nabi saw., berupa perkataan, perbuatan,
dan taqrir sesudah diangkat menjadi Nabi.[13]
Ulama ushul dan
ulama hadis memberi defenisi as-sunnah sama halnya dengan definisi al-hadis
sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi saw., namun mereka berbeda dalam
menetapkan status hadis. Ulama hadis menonjolkan keteladanannya, sedangkan
ulama ushul menonjolkan kedudukannya sebagai sumber hukum atau dalil agama.[14]
3.
Menurut Ulama Fikih
Sebagaimana
yang telah dikutip oleh Prof. Dr. H. Ambo Asse dalam kitab Mabahis fi ‘Ulum
al-Hadis, h. 7, yang ditulis oleh Manna’ al-Qattan, yaitu :
مَا ثُبِتَ عَنِ النَّبِي صلى
الله عليه وسلم مِنْ غَيْرِ وُجُوْبٍ فَهِيَ أَحَدُ الأَحْكَامِ التَّكْلِيْفِيَّةِ
الخَمْسَةِ
Artinya
:
Sesuatu yang ditetapkan Nabi yang bukan wajib (sunnah) salah satu
dari hukum lima.[15]
Dengan
demikian, al-hadis adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw., baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun penetapan atau pengakuannya.
2. Pengertian Sinonim Hadis
Hadis secara
terminologi oleh ulama hadis sering disinonimkan dengan sunnah, khabar, dan
atsar. Ketiga istilah tersebut masing-masing mempunyai makna tersendiri.
a. Sunnah
Istilah sunnah
menurut etimologi berarti cara yang bisa ditempuh (iniseatif), baik ataupun
buruk. Sunnah atau yang searti dengannya, secara beruang-ulang dipakai dalam hadis,
yang pada prinsipnya berarti jalan.[16]
Dalam al-Qur’an
banyak ditemukan kata sunnah. Bentuk jamaknya sunan. Di antaranya sebagai
berikut :
1).
Q.S. AL-Kahfi/18: 55.
$tBur yìuZtB }¨$¨Z9$# br& (#þqãZÏB÷sã øÎ) ãNèduä!%y` 3yßgø9$# (#rãÏÿøótGó¡our öNßg/u HwÎ) br& öNåkuÏ?ù's? èp¨Zß tû,Î!¨rF{$# ÷rr& ãNåkuÏ?ù't Ü>#xyèø9$# Wxç6è% ÇÎÎÈ
Terjemahannya:
Dam tidak ada sesuatupun yang menghalangi manusia dari beriman,
ketika petunjuk Telah datang kepada mereka, dan dari memohon ampun kepada
Tuhannya, kecuali (keinginan menanti) datangnya hukum (Allah yang Telah
berlalu pada) umat-umat yang dahulu atau datangnya azab atas mereka dengan
nyata. (Q.S. AL-Kahfi/18: 55).[17]
Kata
sunnah dalam firman Allah ini berarti hukum, ketentuan.
2) Q.S. al-Isra’/ 17: 77.
sp¨Zß `tB ôs% $uZù=yör& n=ö6s% `ÏB $oYÎ=ß ( wur ßÅgrB $oYÏK¨YÝ¡Ï9 ¸xÈqøtrB ÇÐÐÈ
Terjemahannya:
(Kami
menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul
kami yang kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perobahan bagi
ketetapan kami itu. (Q.S. al-Isra’/ 17: 77).[18]
Kata
sunnah pada firman Allah ini, berarti ketetapan.
Kemudian
apabila dilihat dari segi terminologi, kata sunnah dipahami berbeda-beda oleh
ulama sesuai dengan disiplin ilmu mereka.
Ulama hadis
mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang dihubungkan kepada Nabi saw.
Tetapi menurut sebagian ahli hadis, sunnah itu termasuk segala sesuatu yang
dihubungkan kepada sahabat atau tabi’in, baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, ataupun sifat-sifatnya.
Adapun Ulama
ushul mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang berasal dari Nabi saw.,
baik berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan. Asumsinya adalah apapun yang
berasal dari Nabi saw., merupakan petunjuk atas cara Nabi saw., dalam memahami
dan mengamalkan Islam.
Adapun menurut
ahli fikih sunnah adalah hukum syar’I yang menjadi dalil suatu ketetapan.
Dengan kata lain, hal tersebut merupakan salah satu hukum syariat yang lima
menurut ahli fikih.[19]
Berdasarkan
pengertian sunnah yang telah dikemukakan oleh para ulama, baik ulama hadis,
ulama ushul dan ulama fikih. Kesemuanya mengartikan sunnah adala segala sesuatu
yang bersumber dari Nabi saw., baik berupa perkataan, perbuatan, tingkah laku
dan taqrir, akan tetapi ulama uhul lebih cenderung kepada bagaimana cara
memahami dan mengamalkan Islam. Sedangkan ulama fikih lebih cenderung kepada
hukum syar’I yang menjadi dalil suatu ketetapan.
b.
Khabar
Kata khabar menurut
etimologi berarti berita dan keterangan. Sedangkan menurut terminologi sebagaimana
yang dikutip oleh Drs. M. Jayadi dalam kitab Taisir Musthalah al-Hadis, h.
14 yang dibuat oleh Mahmud al-Thahan yaitu sebagai berikut:
1). Khabar itu
sinonim dengan hadis, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw., baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, maupun sifat-sifatnya.
2). Khabar itu
berbeda dengan hadis. Khabar adalah sesuatu yang disandarkan kepada seseorang
selain Nabi Muhammad saw., sedang hadis adalah segala sesuatu yang khusus
disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.
3). Khabar
lebih umum dari pada hadis. Khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan
kepada siapa saja, baik kepada Nabi Muhammad saw., sahabat, tabiin, maupun
kepada orang lain. Sedangkan hadis hanya sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw.[20]
4) Pengertian
hadis lebih khusus daripada khabar, sehingga setiap hadis pasti khabar, namun
tidak setiap khabar pasti hadis.[21]
Adapun ulama
hadis yang membedakan pengertian khabar dan hadis berpendapat bahwa hadis itu
berasal dari Nabi saw., sedangkan khabar berasal dari selainnya, sehingga orang
yang tekun dalam meriwayatkan hadis disebut dengan muhaddits dan mereka
yang tekun dalam menukilkan peristiwa-peristiwa sejarah atau sejenisnya disebut
dengan akhbary.[22]
c. Atsar
Atsar menurut
etimologi berarti sisa-sisa perkampungan, atau yang sejenisnya. Sedangkan
menurut terminology terdapat beberapa pendapat juga yiatu :
1) Pengertian
atsar identik dengan pengertian hadis, sebagaimana yang dikatakan oleh imam
an-Nawawi bahwasanya para ahli hadis marfu’ dan hadis mauquf dengan atsar.
2). Atsar ialah
sesuatu yang datang dari sahabat (baik perkataan maupun perbuatan). Dalam hal
ini atsar berarti mauquf. Dan ini ditinjau dari segi bahasa yang berarti bekas
atau peninggalan sesuatu, karena perkataan dan perbuatan merupakan sisa-sisa
atau peninggalan-peninggalan dari Nabi saw.[23]
B. Pandangan
Ulama Tentang Hadis dan Sunnah ( Subyek, Obyek, dan Masa )
Berdasarkan
penjelasan tentang pengertian hadis, sunnah dan yang bersinonim dengannya di
atas yang telah dikemukakan oleh ulama hadis, ushul dan fikih, dapat
disimpulkan bahwa para ulama berpandangan bahwa yang menjadi subyek dalam hadis
atau sunnah yaitu Rasulullah saw., dan yang menjadi objek yaitu hadis Nabi
saw., serta masa yang dimaksudakan yaitu masa yang di mana hadis Nabi saw.,
menjadi objek kajian yang sangat penting dan strategis, sejak wafatnya
Rasulullah saw.
Kajian yang
dilakukan pada masa awal yaitu pada saat dilakukannya usaha pengumpulan atau
penghimpunan hadis pada pada akhir abad pertama memasuki abad kedua hijriah,
yaitu pada masa pemerintahan khalifah
Umar bin Abdul Aziz, seperti yang dilakukan oleh Muhammad Ibnu Syihab al-Zuhri
dan Muhammad Ibnu Hazm.
Kemudian kajian
pada masa berikutnya merupakan langkah penelitian dan pentashihan hadis, sperti
yang dilakukan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim dengan menggunakan kriteria
tersendiri dalam menilai kualitas sebuah riwayat. Seterusnya sampai pada masa
sekarang kajian dilakukan dalam berbagai aspek yang menggunakan berbagai metode
dan pendekatan.[24]
C. Perbedaan antara Hadis Nabawi,
Hadis Qudsi, dan Al-Qur’an
1. Hadis Nabawi
Pengertian
hadis Nabi (Nabawi) saw., sebagaimana yang telah dijelaskan di atas sebelumnya di
antarnya bahwa hadis yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw.,
baik berupa perkataan, perbuatan, maupun penetapan atau pengakuannya, juga
segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabiin baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir.
2. Hadis Qudsi
Adapun hadis qudsi,
menurut etimologi qudsi berarti “suci,berkat”.[25]
Sedangkan menurut terminologi, hadis qudsi ialah maknanya dari Allah yang disampaikan melalui
suatu wahyu dan redaksinya dari Nabi saw., yang disandarkan kepada Allah swt.
Dalam hadis qudsi Nabi saw., menjelaskan kandungan atau yang tersirat pada
wahyu sebagaimana yang diterima dari Allah swt., dengan ungkapan beliau sendiri.[26]
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa hadis nabawi merujuk kepada wahyu, baik yang
dipahami dari kandungan wahyu secara tersirat yang disebut dengan taufiqi maupun
yang dipahami dari al-Qur’an secara tersurat yang disebut dengan tawqif[27]i
dan inilah makna firman Allah swt., dalam Q.S. An-Najm/53: 3-4:
$tBur ß,ÏÜZt Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ
Terjemahannya :
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
(Q.S. An-Najm/53: 3-4).[28]
Contoh hadis
qudsi sebagaimana yang telah dikutip oleh Drs. M. Jayadi, M.Ag., dalam buku Al-Jami’al
fi Ahadis al-Basyir al-Nadzir, h. 126-127, yang ditulis oleh Al-Imam Jalal
al-Din ‘Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr as-Suyuti,
yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu bahwa
Allah swt., berfirman :
ثَلَاثَةٌ أَنَا
خَصَمَهُمْ يَوْمَ القِيَامَةِ، وَمَنْ كُنْتُ خَصْمَهُ خَصْمَتُهُ: رَجُلٌ أَعْطَى
بِي ثُمَّ غَدَرَ وَ رَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَعْجَرَ
أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُوَفِّهِ أَجْرَهُ. (رواه ابن ماجه)
Artinya :
Ada
tiga orang yang saya musuhi pada hari kiamat : orang yang berjanji memberiku
sesuatu kemudian mengkhianat/menyalahi janjinya, orang yang menjual orang
merdeka kemudian memakan harganya, dan orang yang mempekerjakan seseorang,
kemudian orang itu menyempurnakan tugasnya, lantaran tidak disempurnakan
upahnya. (H.R. Ibn Majah).[29]
3. Al-Qur’an
Sebagian ulama
mengatakan kata al-Qur’an tidak ada akar katanya, ia merupakan nama bagi kalam Allah
swt., (‘alam murtajal). Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa
al-Qur’an berasal dari kata قَرَأَ- يَقْرَأُ –
قُرْاءَةً – وَ قُرْآنًا yang
berarti bacaan atau yang dibaca.
Dalam istilah
para ulama banyak yang memberikan defenisi dengan berbagai redaksi, salah
satunya adalah sebagaimana yang dikatakan Dr. Shubhi dalam bukunya Mabahits
fi Ulum al-Qur’an yang dikutip oleh Dr. H. Abdul Majid Khon sebagai
berikut:
الكَلَامُ الـمُعْجِزُ الـمُنَزَّلُ عَلَى النَّبِي
صلى الله عليه وسلم الـمَكْتُوْبُ فِيْ المصَاحِفِ الـمـَنْقُوْلُ عَنْهُ
بِالتَّوَاتِرِ الـمـُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ
Artinya
:
Kalam Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan kepada Nabi saw.,
tertulis pada mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, dan dinilai ibadah dengan
membacanya.[30]
Berdasarkan pengertian
hadis Nabi (Nabawi), hadis qudsi dan al-Qur’an di atas, maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa perbedaan antara ketiganya yaitu :
1). Hadis Nabi
ataupun hadis Qudsi bukan termasuk mukjizat bagi Nabi saw., sedangkan al-Qur’an
merupakan mukjizat bagi Nabi saw.
2). Al-Qur’an
redaksi atau lafal dan maknanya dari Allah swt., dan hadis qudsi maknanya dari
Allah swt., redaksinya dari Nabi sendiri sesuai dengan maknanya. Serta hadis
nabawi berdasarkan wahyu Allah swt., atau ijtihad yang dilakukan oleh
Rasulullah saw., yang sesuai dengan wahyu.
3). Membaca
al-Qur’an bernilai ibadah, sedangkan membaca hadis Nabawi atau hadis Qudsi
tidak bernilai ibadah kecuali disertai dengan niat yang baru.
D. Unsur-Unsur
Hadis dan Klasifikasi Hadis dari Segi Kuantitas dan Kualitas
1. Unsur-Unsur Hadis
a).
Sanad
Sanad berasal
dari kata dasar سَنَدَ- يَسْنَدُ yang
berarti bersandar dan jamaknya اسناد artinya tempat bersandar atau menyandarkan
sesuatu kepadanya. Sanad atau tariqah yang berarti jalan yang dapat
menyampaikan kepada matan.[31]
Sebagaimana
yang dikutip oleh Prof. Dr. H. Ambo Asse di dalam kitab Ahmad Muhammad Syakir
yang berjudul Al-Fiyah Al-Syuyuthi fi Ilmi al-Hadis halaman 2,
Al-Suyuthi (w. 911 H- 1.505 M), berpendapat bahwa sanad adalah menerangkan
jalan yang menyampaikan kepada matan seperti isnad menurut sebagian ulama.[32]
Sanad hanyalah yang
berlaku pada sederetan mata rantai orang-orang, bukan dari sudut pribadi secara
perorangan. Sebab sebutan untuk perorangan yang menyampaikan hadis adalah
perawi atau rawi.[33]
Dengan demikian
sanad yaitu sandaran hadis yang menghubungkan sampai ke matan (isi) hadist.
b)
Matan
Matan (متن)
artinya kuat, kokoh, teguh, atau keras. Matan juga berarti teks book, sesuatu
yang tegak. Matan juga berarti pembicaraan atau materi berita yang dioever oleh
sanad yang terakhir.[34]
Menurut Istilah
matan adalah
مَا يَنْتَهِي إِلَيْهِ
السَّنَدُ مِنَ الكَلَامِ
Artinya
: sesuatu kalimat setelah berakhirnya sanad.
Berbagai
redaksi defenisi matan yang diberikan para ulama, tetapi intinya sama, yaitu
materi atau isi berita hadis itu sendiri yang datang dari Nabi saw. matan ini
sangat penting karena yang menjadi topic kajian dan kandungan syariat Islam
untuk dijadikan petunjuk dalam beragama.[35]
Dengan demikian
matan hadis yaitu isi hadis itu sendiri.
c) Rawi
Secara
etimologi kata rawi berasal dari bahasa Arab رَاوِي adalah isim fi’il dari lafal روي yang bentuk masdarnya adalah رِوَايَة yang berarti meriwayatkan, memindahkan,
atau menceritakan. رَوِي عن artinya dia meriwayatkan sebuah berita dari seorang sebagai
gurunya, sedangkan رَوِي عنه artinya orang yang meriwayatkan dari padanya (sebagai muridnya). الرِّوَايَةُ artinya kegiatan penerimaan yang
menyampaikan hadis atau berita dari Nabi saw., serta penyandaran sebuah berita
kepada para periwayat yang terlibat dalam rangkaian periwayatan hadis dalam
bentuk-bentuk tertentu.[36]
Periwayat
adalah orang yang terlibat dalam melakukan dua buah kegiatan, yaitu menerima
riwayat atau berita dari seseorang guru atau dari Rasulullah saw., kemudian
menyampaikan riwayat atau berita itu kepada orang lain atau muridnya. Periwayat
pertama adalah seorang sahabat yang menerima riwayat dari Nabi saw., kemudian
dia menyampaiakan riwayat itu kepada orang lain yang datang berguru atau
belajar kepadanya, baik yang datang itu adalah sahabat, maupun para tabiin,
kemudian mereka lagi menyampaikan kepada muridnya turun temurun dan
berkesinambungan, akhirnya sampai kepada periwat terakhir yang dikenal dengan
sebutan mukharij. Mereka adalah ulama hadis yang secara
bersambung-sambung antara satu periwayat dengan periwayat yang lain dalam
hubungannya sebagai guru dan murid.[37]
Dengan demikian
rawi yaitu periwayat hadis atau yang meriwayatkan hadis Nabi saw.
2. Klasifikasi
Hadis dari Segi Kuantitas dan Kualitas
a.
Hadis ditinjau dari Segi Kuantitas
Hadis
ditinjau dari kuantitas yaitu dilihat
dari jumlah perawi dalam sanad yang terbagi menjadi dua macam yaitu: hadis
mutawatir dan hadis ahad.[38]
1. Hadis
Mutawatir
Mutawatir (مُتَوَاتر)
dalam bahasa memiliki arti yang sama kata مُتَتَابِع yang artinya berurutan atau
beriring-iringan antara satu dengan yang lain tanpa ada jarak. Sedangkan menurut
istilah adalah:
هُوَ الَّذِي يَرْوِيْهِ فِي كُلِّ
طَبَقَةٍ مِنْ طَبَقَاتِ سَنَدِهِ رِوَاةٌ كَثِيْرُوْنَ يَحْكُمُ العَكْلُ عَادَةً
بِاسْتِحَالَةٍ أَنْ يَكُوْنَ أُولَئِكَ الرُّوَاةُ قَدْ تَفَقُّو عَلَى
اخْتِلَافِ هَذَا الخَبَر.
Artinya:
Hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat pada setiap tabaqa,
para periwayat yang banyak dan periwayat itu mustahil menurut akal sepakat
untuk berdusta.[39]
مَا
كَانَ عَنْ مَحْسُوْسٍ أَخْبَرَ بِهِ جَمَاعَةٌ بَلَغُوْا فِي الكَثْرَةِ
مَبْلَغًا تَحِيْلُ العَادَةِ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الكَذِبِ
Artinya:
Hadis yang didasarkan pada pancaindra (dilihat atau didengar) yang
diberikan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil
menurut tradisi mereka sepakat berdusta[40].
Ada tiga macam
hadis mutawatir yaitu lafzhy, ma’nawy, dan amaly.[41]
Berdasarkan
beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadis mutawatir yaitu hadis
yang diriwayatkan oleh banyak orang yang tidak terputus dari sanadnya dan
mustahil dari mereka ada yang berdusta.
2.
Hadis Ahad
Secara
etimologi kata ahad berasal dari bahasa Arab أحد yang jamaknya أحاد yang berarti satu, tunggal, esa.[42] Menurut terminologi hadis
ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang atau dua orang periwayat
ataupun lebih yang tidak mencapai derajat mutawatir.[43] Hadis
ahad terbagi dua yaitu hadis masyhur dan ghairu masyhur.[44]
Dengan
demikian, hadis ahad yaitu hadis yang diriwayatkan oleh satu perawi atau lebih
namun tidak mencapai derajat hadis mutawatir.
b. Hadis
ditinjau dari Segi Kualitas
Hadis ditinjau
dari segi kualitas dapat dilihat dari kualitas sanad dan matannya. Hadis ini
terbagi menjadi tiga macam yaitu hadis shahih, hadis hasan dan hadis dhaif.[45]
1). Hadis
Shahih
Kata shahi
menurut etimologi berarti sehat kebalikan dari sakit, dan menjadi bahasa
Indonesia dengan arti sah, benar, sempurna, sehat.[46]
Sedangkan menurut istilah sebagaimna yang dikutip oleh KH. M. Ma’shum Zein di
dalam kitab At-Tadrib Ar-Rawiy Syarkh Taqrib An-Nawawi halaman 45, yang
ditulis oleh Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr As-Suyuthi bahwasanya As-Suyuti berpendapat bahwa: Hadis shahih
ialah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan
dhabit dan tidak ditemukan kejanggalan, tidak juga ber’illat.[47]
Berdasarkan
penegrtian di atas dapat dipahami bahwa hadis dikatakan shahih apabila sanadnya
bersambung, perawinya adil, perawinya dhabit, tidak ada kejanggalan, dan tidak
terdapat kecacatan di dalamnya.
2)
Hadis Hasan
Kata حسن secara
etimologi berarti sesuatu yang baik dan bagus. Sedangkan mmenurut terminologi
hadis hasan adalah hadis yang muttasil sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang
adil dan dhabit, tetapi kadar kedhabitannya di bawah kedhabitan hadis shahih,
dan hadis itu tidak syadz (kejanggalan) dan tidak pula terdapat illat (cacat).[48]
Hadis hasan
adalah hadis yang tidak mencapai kualitas
hadis shahih dan juga tidak jatuh pada status kualitas hadis dhaif. Hal
ini berarti bahwa kualitas hadis hasan tidak jauh dari kualitas hadis shahih.
Kriteria hadis shahih berlaku untuk hadis hasan kecuali sedikit berbeda pada
kualitas kedhabitannya.[49]
3)
Hadis Dhaif
Hadis da’aif
salah satu jenis hadis jika dilihat dari segi kualitasnya yang berarti lemah.
Kata dhaif secara etimoogi berarti lemah yang merupakan lawan dari qawiy
(kuat), sinonim dara marid (sakit).[50]
Adapun menurut
terminologi sebagaimana yang disebutkan oleh Imam an-Nawawiy :
الحَدِيْثُ الضَّيْفُ هُوَ مَا
لَمْ يُوْجَدْ فِيْهِ شُرُوْطٌ مِنْ شُرُوْطِ الحَسَنِ
Artinya
:
Hadis yang di dalamnya tidak ditemukan syarat-syarat yang wajib ada
dalam hadis shahih dan hasan.[51]
Berdasarkan
pengertian di atas dapat dipahami bahwa apabila sebuah hadis tidak memiliki
satu saja syarat dari beberapa yang yang terdapat di dalam hadis hasan maka
hadis tersebut dinyatakan hadis dhaif.
E. Otoritas
Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, Kedudukan dan Fungsi Hadis, dan Ingkar
as-Sunnah
1. Otoritas
Nabi Muhammad saw
Nabi Muhammad
saw., atau Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib al-Hasyimi al-Quraisy
al-Arabi yang berasal dari keturunan Nabi Ismail bin Ibrahim al-Khalil ‘alaihi
salam adalah hamba Allah dan Rasulnya yang diutus kepada segenap umat manusia,
baik yang berkulit merah maupun yang berkulit putih, dan dengan kenabiannya
Allah menutup dan mengakhiri kenabian dan kerasulan. Maka tidak ada nabi dan
tidak pula rasul sesudah beliau.
Nabi Muhammad
saw., telah didukung dengan beberapa mukjizat dan diutamakan atas segenap nabi,
sebagaimana umatnya telah diutamakan atas segenap umat. Allah swt., telah
mewajibkan cinta kepadanya, memastikan taat kepadanya dan mengharuskan
muthaba’ah (mengikutinya). Allah swt.,
juga telah memberikan kelebihan-kelebihan (khasaish) kepada beliau yang
belum pernah diberikan kepada siapapun selain beliau, yang di antaranya adalah
al-Washilah, al-Kautsar (telaga di padang mahsyar), al-Haudah (kolam),
dan al-Maqam al-Mahmud (kedudukan yang termulia).[52]
Di dalam
al-Qur’an disebutkan bahwa Rasulullah adalah contoh teladan terbaik (qudwah
hasanah) umat manusia dan rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil
alamin). Aisyah r.a., meneybut beliau sebagai al-Qur’an yang berjalan.
Karena beliau telah mengaplikasikan seluruh isi al-Qur’an dengan sempurna.[53]
Allah swt.,
berfirman di dalam Q.S. Al-Maidah/5 :19.
@÷dr'¯»t É=»tGÅ3ø9$# ôs% öNä.uä!%y` $uZä9qßu ßûÎiüt7ã öNä3s9 4n?tã ;ouøIsù z`ÏiB È@ß9$# br& (#qä9qà)s? $tB $tRuä!%y` .`ÏB 9ϱo0 wur 9ÉtR ( ôs)sù Nä.uä!%y` ×ϱo0 ÖÉtRur 3 ª!$#ur 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ÖÏs% ÇÊÒÈ
Terjemahannya
:
Hai ahli kitab, Sesungguhnya Telah datang kepada kamu Rasul kami,
menjelaskan (syari'at kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul
agar kamu tidak mengatakan: "Tidak ada datang kepada kami baik seorang
pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan". Sesungguhnya
Telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. Al-Maidah/5 :19).[54]
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa otoritas Nabi Muhammad saw.,
adalah sangat agung, beliau adalah seorang Nabi dan Rasul yang membawa risalah
atau syariat Islam secara sempurna, menjadi teladan yang terbaik dan menjadi
rahmat bagi alam semesta.
2. Kedudukan
Hadis dan Fungsi Hadis
a.) Kedudukan
Hadis
Hadis atau
sunnah adalah sumber Islam yang kedua.
Mustafa al-Siba’iy dalam bukunya Al- Sunnatu wa Makanatuha fi al-Tasyri’
al-Islamiy halaman
343, yang dikutip oleh Prof. Dr. H. Ambo Asse, menyatakan bahwa umat Islam
sejak dahulu sampai sekarang telah sepakat (ijma’) menetapkan bahwa hadis atau
sunnah Rasulullah berupa perkataan, perbuatan dan pengakuannya, merupakan dasar
atau sumber hukum Islam yang wajib diikuti.[55]
Allah swt.,
berfirman dalam Q.S Al-Hasy/59 :7.
!... ãNä39s?#uä$tBur ãAqß§9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù ....
Terjemahannya :
apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah. (Q.S Al-Hasy/59 :7).[56]
Rasulullah
saw., bersabda:
تَرَكْتُ
فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا، كِتَابَ اللهِ وَ
سُنَّةَ نَبِيِّهِ
Artinya :
Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, jika kalian berpegang teguh
dengan keduanya, niscaya kalian tidak sesat selama-lamanya yaitu: kitabullah
dan sunnah NabiNya. (H.R. Malik secara mursal, al-Muwathta, Juz.2, h.999).
Dengan demikan
bahwa hadis atau sunnah adalah sumber pokok yang kedua setelah al-Qur’an di
dalam agama Islam.
b).
Fungsi Hadis
Yang
dimaksudakan di sini adalah fungsi hadis terhadap al-Qur’an yaitu sebagai
berikut :
1). Bayan
Ta’kidiy
Bayan adalah
penejlasan dan ta’kid adalah penetapan kembali atau penguat. Jadi bayan ta’kid
dimaksud sebagai penjelasan hadis terhadap al-Qur’an dengan maksud untuk
mengokohkan atau menguatkan apa yang telah terkandung dalam al-Qur’an.[57]
Contoh : hadis
riwayat Muslim dari ibnu umar tentang puasa.
فَإِذَا رَأَيْتُمْ الهِلَالَ فَصُوْمُوْا وَ إِذَا
رَأَيْتُمُوْهُ فَافْطِرُوْا
Artinya:
Jika kamu sekalian melihat (ru’yah) bulan, berpuasalah. Dan jika
melihat (ru’yah) bulan, berbukalah. (H.R. Muslim).
Hadis ini
mempertegas ketentuan ayat, Q.S. al-Baqarah/2: 185.
... yÍky`yJsù ãNä3YÏB tök¤¶9$# çmôJÝÁuù=sù.... (
Terjemahannya:
…Barangsiapa di antara kamu
hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu…. (Q.S. al-Baqarah/2: 185).[58]
2). Bayan
Tafsiriy
Yaitu
penjelasan hadis terhadap ayat al-Qur’an dengan maksud menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an yang masih bersifat global.
Contoh: hadis
tentang tata cara shalat
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي
أُصَلِّى
Artinya
:
Shalatlah kamu sekalian sebgaimana engakau sekalian melihat aku
shalat. (H.R. Bukhari).
Hadis ini menjelaskan ayat berikut:
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
Terjemahnnya:
Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta
orang-orang yang rukuk. (Q.S. al-Baqarah/2: 43).[59]
3)
Bayan Tabdil atau Nasakh
Yaitu mengganti
atau menasakh suatu hukum yang terkandung dalam ayat al-Qur’an.
Contoh:
hadis yang diriwayatkan oleh imam at-Tirmizi dan Ibnu Majah.
... إِنَّ اللهَ أَعْطَى لِكُلِّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ
لِوَارِثٍ
Artinya
:
… Sesungguhnya Allah telah memberi hak bagian bagi orang-orang yang
benar-benar memiliki hak untuk itu, makanya tidak ada wasiat bagi ahli waris.
(H.R. at-Tirmizi dan Ibnu Majah).
Hadis ini menaskh Q.S. al-Baqarah/2: 180.
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
Terjemahnnya:
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (Ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa. ( Q.S. al-Baqarah/2: 180)[60]
4)
Bayan Tasyri’I atau Ziyadah
Yaitu yaitu
memebentuk hukum yang tidak ada di dalam al-Qur’an, atau sudah ada tetapi
khusus pada masalah-masalah pokok saja.[61]
Contoh:
hadis tentang bangkai ikan laut.
فِي البَحْرِ هُوَ الطَّهُوْرُ
مَاؤُهُ وَالحِلُّ مَيْتَتُهُ
Artinya
:
Laut itu airnya suci dan mensucikan, bangkainya pun halal. (H.R.
Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I, dan Ibnu Majah).[62]
3. Ingkar as-Sunnah
Ingkar Sunnah
terdiri dari dua kata yaitu ingkar dan sunnah. Ingkar menurut bahasa Arab
berasal dari kata kerja, Ankara-yunkiru-ingkaran (أنكر- ينكر-إنكارا)
artinya “menolak atau mengingkari”. Secara definitif ingkar sunnah dapat
diartikan suatu nama atau aliran atau suatu paham keagamaan dalam masayrakat
Islam yang menolak atau mengingkari sunnah untuk dijadikan sebagai sumber
sandaran dasar syariat Islam.
Dengan demikian
ingkar dapat diartikan secara luas yaitu menolak, tidak mengakui, dan tidak
menerima sesuatu, baik lahir maupun batin atau lisan dan hati yang dilator
belakangi oleh faktor ketidaktahuannya atau faktor lain, misalnya karena
gengsi, kesombongan, keyakinan, dan lain-lain.[63]
Demikian juga
yang dikemukakan oleh Imam Syafi’I dengan pernyataan berikut:
إِنْكَارُ السُنَّةِ هُوَ الطَّائِفَةُ
الَّتِي رَدَّتْ الأَخْبَارَ كُلَّهَا
Artinya:
Ingkar sunnah adalah kelompok yang bersikap menolak seluruh hadis
sebagai satu sumber ajaran Islam.[64]
Dengan demikian
ingkar as-Sunnah dapat dipahami bahwa sesorang atau kelompok yang mengingkari
hadis atau sebuah pemahaman yang menolak sunnah yang datang dari Rasulullah
saw., yang merupakan sumber hukum yang kedua dalam agama Islam setelah
al-Qur’an.
III.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan yang penulis telah kemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Para ulama
saling berbeda pendapat tentang hadis atau yang besinonim dengannya yaitu
sunnah, khabar, atsar dari sudut pandang yang berbeda dan aspek-aspek yang
menjadi pokok kajian di kalangan ulama.
2. Hadis atau
Sunnah merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an yang memiki fungsi
yang sangat eksitensi terhadap al-Qur’an walaupun ada sebagian pemahaman atau
kelompok yang mengingkari hal tersebut, yang disebut dengan Ingkar as-Sunnah. Wallahu
ta’ala a’lam.
Daftar
Pustaka
Al-
Mubarakfury, Shafiyyurrahman. Shahih Sirah Nabawiyah. Cet.6; Bandung: Jabal, 2017.
Ali,
Atabik dan Ahmad Zyhdi Mudhar. Qamus Krabyak Al-Asri, Arabiy- Indunisy. Yogyakarta:
Muliti Karya Grafika, 1998.
al-Jaza’iri,
Abu Bakar Jabir. Minhajul Muslim (Konsep Hidup Ideal dalam Islam. Cet.17;
Jakarta: Darul Haq, 1438 H/ 2017 M.
Al-Khatib,
Muhammad Ajjaj. Usul al-Hadis Ulumuhu wa Musthalahuh. Bairut: Dar
al-Fikr, 1989.
Al-Maliki,
Muhammad Alawi. Ilmu Ushul Hadis. Cet.3;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Al-Qardhawi,
Yusuf. Pengantar Studi Hadis. Cet.
1; Bandung: Pustaka Setia, 2007.
al-Tahhan,
Mahmud. Taysir Mushthalahul Hadis. Riyad:
Maktabah al-Ma’arif, 1407 H/1987 M.
An-Nawawiy,
Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf. Shahih Muslim bi Syarkh an-Nawawiy. Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.
Asse,
Ambo. Ilmu Hadist (Pengantar Memahami Hadits Nabi Saw). Makassar: Dar
al-Hikmah al-Ulum Alauddin Press, 2014.
Asy-Syafi’I.
Al-‘um. J.7; Beirut Libanon: Dar al-Fikr
al-Islamiy, t.t.
Atsqalani,
Ibnu Hajar. Buluughul Maram Min Adilatil Ahkam (Terjemahan). Cet. 7;
Bandung: Gema Risalah Press, 2012.
Ismail,
M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa, 1991.
Jayadi,
M. Metodologi Kajian HAadits. Cet.1;
Makassar : Alauddin University Press, 2012.
Kementrian
Agama RI. Al-Qur’an dan
Terjemahannya. Jakarata: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012.
Khon,
Abdul Majid. Ulumul Hadis. Cet.2;
Jakarta: Amzah, 2013.
Maidan,
Muhammad Sabir. Ingkar Sunnah/Hadis 1 (Dalam Perspektif Historis). Cet.
1; Makassar: Alauddin University Press, 2012.
Munawwir,
Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Cet. 14; Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997.
Yunus,
Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah/
Penafsir Al-Qur’an, 1973.
Zein,
M. Ma’shum. Ilmu Memahami Hadist Nabi. Cet.1; Yogyakarta : Pustaka
Pesantren, 2014.
[1]M. Syuhudi
Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung:
Angkasa, 1991), h. 130.
[2]Muhammad Sabir
Maidan, Ingkar Sunnah/Hadis 1 (Dalam Perspektif Historis), (Cet. 1;
Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 2.
[3]Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarata:
Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 526.
[4]Abdul majid
Khon, Ulumul Hadis, (Cet.2; Jakarta: Amzah, 2013), h. v.
[5]Ahmad Warson
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (Cet. 14; Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 242.
[6]M. Ma’shum
Zein, Ilmu Memahami Hadist Nabi, (Cet.1; Yogyakarta : Pustaka Pesantren,
2014), h. 1-2.
[7]M. Jayadi, Metodologi
Kajian Hadis, (Cet.1; Makassar : Alauddin University Press, 2012), h. 30.
[8]Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h.
525.
[9]Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h.
92.
[10]Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h.
236.
[11]Ambo Asse, Ilmu
Hadist (Pengantar Memahami Hadits Nabi Saw),(Makassar: Dar al-Hikmah
al-Ulum Alauddin Press, 2014), h. 1-2.
[12]M. Jayadi, Metodologi
Kajian HAadits,h. 33.
[13]Ambo Asse, Ilmu
Hadist (Pengantar Memahami Hadits Nabi Saw), h. 2.
[14]Ambo Asse, Ilmu
Hadist (Pengantar Memahami Hadits Nabi Saw), h. 3.
[15]Ambo Asse, Ilmu
Hadist (Pengantar Memahami Hadits Nabi Saw), h. 5.
[16]Muhammad Alawi
Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (Cet.3; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012),
h. 3.
[17]Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h.
300.
[18]Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h.
290.
[19]Yusuf
Al-Qardhawi, Pengantar Studi Hadis, (Cet. 1; Bandung: Pustaka Setia,
2007), h. 20.
[20]M. Jayadi, Metodologi
Kajian HAadits,h. 41.
[21]Muhammad Alawi
Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, h. 46.
[22]Ambo Asse, Ilmu
Hadist (Pengantar Memahami Hadits Nabi Saw), h. 7.
[23] Muhammad Alawi
Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, h. 47.
[24]Ambo Asse, Ilmu
Hadist (Pengantar Memahami Hadits Nabi Saw), h. 78.
[25]Mahmud Yunus, Kamus
Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir
Al-Qur’an, 1973), h. 332.
[26]Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadis, (Cet. 2; Jakarta: Amzah, 2013), h. 14.
[27]M. Jayadi, Metodologi
Kajian HAadits,h. 201.
[28]Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h.
526.
[29]M. Jayadi, Metodologi
Kajian HAadits,h. 201.
[30]Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadis, h. 16.
[31]Ahmad Warson
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, h. 666.
[32]Ambo Asse, Ilmu
Hadist (Pengantar Memahami Hadits Nabi Saw), h. 18.
[33]M. Ma’shum
Zein, Ilmu Memahami Hadist Nabi, h. 21.
[34]Ahmad Warson
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, h. 1307.
[35]Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadis, h. 113-114.
[36]Ahmad Warson
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, h. 551.
[37]Ambo Asse, Ilmu
Hadist (Pengantar Memahami Hadits Nabi Saw), h. 16.
[38]Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadis, h. 142.
[39]Mahmud
al-Tahhan, Taysir Mushthalahul Hadis, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 1407
H/1987 M), h. 19.
[40]Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadis, h. 146.
[41]Ibnu Hajar
Atsqalani, Buluughul Maram Min Adilatil Ahkam (Terjemahan), (Cet. 7;
Bandung: Gema Risalah Press, 2012), h. xxiii.
[42]Ahmad Warson
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, h. 10-11.
[43]Muhammad Ajjaj
Al-Khatib, Usul al-Hadis Ulumuhu wa Musthalahuh, (Bairut: Dar al-Fikr,
1989), h. 373.
[44]Ibnu Hajar
Atsqalani, Buluughul Maram Min Adilatil Ahkam (Terjemahan), h. xxiii.
[45]Abdul Majid Khon,
Ulumul Hadis, h. 142.
[46]Ahmad Warson
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, h. 764.
[47]M. Ma’shum
Zein, Ilmu Memahami Hadist Nabi, h. 112.
[48]Muhammad Alawi
Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, h. 59.
[49]Ambo Asse, Ilmu
Hadist (Pengantar Memahami Hadits Nabi Saw), h. 114.
[50]Atabik Ali dan
Ahmad Zyhdi Mudhar, Qamus Krabyak Al-Asri, Arabiy- Indunisy, (Yogyakarta:
Muliti Karya Grafika, 1998), h. 1209.
[51]Abu Zakariyya
Yahya bin Syaraf An-Nawawiy, Shahih Muslim bi Syarkh an-Nawawiy, (Beirut:
Dar al-Fikr, t.t), h. 19.
[52]Abu Bakar Jabir
al-Jaza’iri, Minhajul Muslim (Konsep Hidup Ideal dalam Islam, (Cet.17;
Jakarta: Darul Haq, 1438 H/ 2017 M), h.
44.
[53]Shafiyyurrahman
Al- Mubarakfury, Shahih Sirah Nabawiyah, (Cet.6; Bandung: Jabal, 2017),
h. iii.
[54]Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h.
111.
[55]Ambo Asse, Ilmu
Hadist (Pengantar Memahami Hadits Nabi Saw), h. 69.
[56]Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h.
546.
[57]Muhammad Sabir
Maidan, Ingkar Sunnah/Hadis 1 (Dalam Perspektif Historis), h. 116.
[58]Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h.
28.
[59]Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h.
7.
[60]Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h.
27.
[61]M. Ma’shum
Zein, Ilmu Memahami Hadist Nabi, h. 54.
[62]Ibnu Hajar
Atsqalani, Buluughul Maram Min Adilatil Ahkam (Terjemahan), h. 1.
[63]Muhammad Sabir
Maidan, Ingkar Sunnah/Hadis 1 (Dalam Perspektif Historis), h. 50-51.
[64]Asy-Syafi’I, Al-‘um,
(J.7; Beirut Libanon: Dar al-Fikr al-Islamiy, t.t), h. 250.
masya Allah
BalasHapus