I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Sebagaimana yang diketahui bahwa dahulu hadis
di ajarkan kepada umat Islam yaitu dari Rasulullah saw., kepada para sahabat.
Kemudian sahabat pun meriwayatkannya kepada tabi’in dengan lisan juga dengan
mengandalkan daya ingat. Hal ini terjadi karena Rasulullah saw melarang
penulisan hadis. Tentu selama kurun waktu yang begitu panjang sangat
memungkinkan terjadinya kesalahan bahkan mungkin juga penyimpangan hadis. Oleh
karena itu, dengan pertimbangan ini menggugah ulama untuk mencurahkan
kehidupannya mencari, mengumpulkan dan meneliti hadis Nabi saw., dalam kurun
waktu yang lama telah tersebar ke perbagai penjuru daerah Islam yang terbentang
luas. Upaya-upaya tersebut bertujuan tidak lain adalah untuk mendapatkan
keyakinan bahwa hadis-hadis Nabi saw., benar-benar berasal dari
Nabi saw.
Untuk menentukan apakah seorang rawi dapat dipercaya atau tidak para ulama hadis
menggunkan sejarah biografi para rawi tersebut. Dalam biografi dipertanyakan
pula nama asli perawi, kuniah, laqab, kapan lahir dan wafatnya, di mana tempat
tinggalnya, tingkatan (thabaqat) sahabat, siapa saja gurunya, murid-muridnya
dan bagaimana moral serta intelektualnya.
Pada perkembangannya penelitian biografi para perawi hadits tidak hanya
pada perawi saja yang terlibat dalam sanad hadits, tetapi juga kepada para
pengkritik perawi dalam sanad.
Sehingganya pada makalah ini, penulis akan
menyajikan materi tentang Penelitian Rijal al-Hadis.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka dapat dirumusakan fokus masalah yaitu sebagai
beriku:
1. Apa pengertian Ilmu Rijal
al-Hadis dan Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil ?
2. Bagaimana teknik menetapkan Rijal
al-Hadis ?
3. Apa saja segi-segi Rijal al-Hadis
yang diteliti ?
4. Bagaimana kaidah-kaidah al-Jarh
wa Ta’dil ?
5. Bagaimana maratib al-Jar wa
Ta’dil ?
6. Bagaimana sikap kritikus hadis
dalam menilai Rijal al-Hadis ?
7. Apa saja kitab-kitab rujukan
dalam penelitian Rijal al-Hadis ?
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ilmu Rijal al-Hadis dan Ilmu al-Jar wa Ta’dil
Ilmu
rijal al-Hadis ialah:
عِلْمُ رِجَالِ
الحَدِيْثِ هُوَ عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ رُواَّةُ الحَدِيْثِ مِنْ حَيْثُ أَنَّهُمْ
رُوَّاةٌ لِلْحَدِيْثِ
Artinya:
“Ilmu untuk mengetahui para
perawi hadis dalam kapasitasnya sebagai perawi hadis.”
Maksudnya
ialah ilmu yang membicarakan seluk-beluk dan sejarah kehidupan para perawi,
baik dari generasi sahabat, tabi’in maupun tabi’it tabi’in.
Dari
penegertian tersebut, dapat dipahami bahwa kedudukan ilmu ini sangat penting
dalam mempelajari sebuah hadis. Lebih-lebih sebab kemunculannya yang terkait
erat dengan periwayatan hadis, dan bahkan sudah mengambil porsi khusus dalam
mempelajari persoalan-persoalan di sekitar sanad.[1]
Dan di atas semua itu, tidak bisa disangkal bahwa nilai suatu hadis sangat
dipengaruhi oleh karakter serta perilaku perawinya.
Adapun
ilmu jarh wa ta’dil memiliki dua kosa-kata yaitu jarh wa ta’dil. Jarh
berasal dari kata jaraha-yajrahu, artinya “melukai”, baik dalam bentuk
fisik (seperti terkena senjata tajam) maupun non fisik (seperti sakit hati
lantaran perkataan kasar yang dilontarkan sesorang). Jadi, kata jarh dalam
bahasa berarti “luka” atau “cela” atau “cacat”.[2]
Akan tetapi, jika digabungkan dengan kata ilm, artinya adalah “ilmu yang
membahas kecacatan para perawi hadis, baik pada sisi keadilan maupun kedahabitannya”.
Sedangkan
menurut istilah adalah :
الجَرْحُ هُو َالطَّعْنُ فِي
رَاوِى الحَدِيْثِ بِمَا يَسْلُبُ أَوْ يَخِلُّ بِعَدَالَتِهِ أَوْ ضَبْطِهِ
Artinya:
“Jarh adalah kecacatan para perawi hadis lantaran adanya sesuatu yang dapat
merusak sikap keadilan dan kedhabitan (kekuatan hafalan) perawi.[3]
Dari
pengertian di atas, dapat dipahami bahwa jarh adalah tampak jelasnya sifat
perawi yang tidak adil atau yang buruk hafalan dan kecermatannya, dan dengan
keadaan itu riwayat yang ia sampaikan menjadi lemah atau gugur.
Oleh
sebab itu, kata jarh bermakna
sama dengan kata tarjih. Hanya saja, kata jarh tidak berarti
mencari-mencari ketercelaan seseorang karena memang sudah jelas menjadi
karakternya. Sedang tarjih berorientasi pada pencarian dan pengungkapan
ketercelaan.[4]
Dan
adapun ta’dil (تعديل) berasal dari kata dasar ‘adl (عدل) yang
berarti sama dengan kata at-taswiyah (التسوية), artinya “menyamakan”. Atau dari kata
dasar ‘adalah (عدلة) , yang berarti “pengungkapan sifat-sifat adil yang dimiliki
seseorang”.[5]
Maksudnya yaitu sistem pengungkapan sifat-sifat asli dan murni yang terdapat
pada diri perawi sehingga tampak dengan jelas keadilan pribadinya, dan karena
itu, riwayat yang ia sampaikan dapat diterima.
Sedang
menurut istilah adalah:
العَدْلُ هُوَ عَكْسُ الجَرْحِ
وَ هُو َتَزْكِيَّةُ الرَّاوِى وَالحُكْمُ عَلَيْهِ بِأَنَّهُ عَدْلٌ أَوْ ضَابِطٌ.
Artinya: “Adl
adalah lawan kata al-Jarh yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan
menetapkan bahwa ia benar-benar atau kuat hafalannya.[6]
Dari
dua pengertian di atas, jarh wa ta’dil menurut istilah yiatu:
هُوَ عِلْمُ الَّذِي يَبْحَثُ
فِي أَحْوَالِ الرُّوَّاةِ مِنْ حَيْثُ قَبُوْلُ رِوَايَاتِهِمْ أَوْ رَدِّهَا
Artinya: “Ilmu
yang membahas keadaan para perawi hadis dari sisi diterima dan ditolaknya
periwayatan mereka”.[7]
Ilmu
yang membahas berbagai hal yang berkaitan dengan ketercelahan (Jarh) dan
keadilan (ta’dil) dikenal dengan sebutan ilmu jarh wa ta’dil, sedangkan
ulama yang bergelut dalam bidang ini dikenal dengan sebutan at-Tarjih wa
al-Mua’ddilah. Ilmu jarh dan ta’dil adalah salah satu alat
untuk menunjukkan sifat negatif dan positif yang melekat pada para perawi
hadis.[8]
B.
Teknik Menetapkan Rijal al-Hadis
Para ulama ahli
kritik hadis telah menetapkan suatu teknik atau teori agar penelitian terhadap
periwayat hadis dapat lebih objektif, sebagai berikut:
Maksudnya, bila seorang periwayat dinilai
terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai tercela oleh kritikus lainnya, maka
yang dipilih adalah kritikan yang bersifat pujian. Alasannya, sifat dasar
periwayat hadis adalah terpuji. Sedangkan sifat tercela merupakan sifat yang
datang kemudian. Karenanya, bila sifat dasar berlawanan dengan sifat yang
datang kemudian, maka yang dimenangkan adalah sifat dasarnya. Pendukung
teori ini oleh an-Nasa’i (w. 303 H/915 M), namun pada umumnya ulama hadis tidak
menerima teori tersebut, karena kritikus yang memuji tidak mengetahui sifat
tercela yang dimiliki oleh periwayat yang dinilainya, sedang kritikus yang
mengemukakan celaan adalah kritikus yang telah mengetahui ketercelaan periwayat
yang dinilainya.
Maksudnya, bila
seorang kritikus dinilai tercela oleh seorang kritikus dan dinilai terpuji oleh
kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah kritikan yang berisi celaan.
Alasannya
adalah kritikus yang menyatakan celaan lebih paham terhadap pribadi periwayat
yang dicelanya. Dan dasar untuk memuji seorang periwayat adalah persangkaan
baik dari pribadi kritikus hadis, dan persangkaan baik itu harus “dikalahkan”
bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat yang
bersangkutan. Pendukung teori ini adalah kalangan ulama hadis, ulama fiqh, dan
ulama ushul fiqh.
Dikatakan oleh
Imam Ahmad, “setiap rawi yang telah ditetapkan ‘adalah-nya tidak akan
diterima pen-tarjih-an dari seseorang kecuali telah betul-betul dan
terbukti bahwa keadaan rawi itu mengandung sifat jarh.[11]
3. إِذَا تَعَارَضَ الجَارِحُ وَالعَدْلُ فَالحُكْمُ
لِلْمُعَدِّلِ إِلَّا إِذَا ثَبَتَ الجَرْحُ الـمُفَسَّرُ
Artinya: Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji
dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji,
kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang
sebab-sebabnya.[12]
Maksudnya,
apabila seorang periwayat dipuji oleh seorang kritikus tertentu dan dicela oleh
kritikus lainnya, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah kritikan
yang memuji, kecuali bila kritikan yang mencela menyertai penjelasan tentang
bukti-bukti ketercelaan periwayat yang yang bersangkutan.
Alasannya,
kritikus yang mampu menjelaskan sebab-sebab ketercelaan periwayat yang
dinilainya lebih mengetahui terhadap pribadi periwayat tersebut daripada
kritikus yang hanya mengemukakan pujian terhadap periwayat yang sama.
Pendukung teori
ini adalah jumhur ulama ahli kritik hadis. Namun, sebagian dari mereka ada yang
menyatakan bahwa penjelasan ketercelaan yang dikemukakan haruslah relevan
dengan upaya penelitian. Dan bila kritikus yang memuji telah mengetahui juga
sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya itu dan dia memandang bahwa
sebab-sebab ketercelaannya itu memang tidak relevan, maka kritikannya yang
memuji tersebut yang harus dipilih.
Dengan
demikian, dapat ditegaskan bahwa kontradiktif antara jarh dan ta’dil
hanya bisa terjadi bila betul-betul tidak ditemukan jalan penyelesaiannya.
Sedangkan kontradiktif yang masih memungkinkan dihilangkan tidak dikatakan
kontradiktif, bahkan bisa ditempuh cara lain yaitu tarjih (dicari yang
lebih unggul).[13]
Seperti seorang
rawi di-rajh dengan penilaian fasik karena diketahui kefasikannya,
tetapi taubat rawi itupun diketahui. Dengan demikian, rawi tersebut tidak
termasuk jarh/berdusta pada Rasulullah
saw.
4.
إِذَا كَانَ الجَارِحُ ضَعِيْفًا فَلَا يُقْبَلُ
جَرْحِهِ لِلثِّقَةِ
Artinya: Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah orang
yang tergolong da’if, maka kritikannya terhadap orang yang siqah tidak
diterima.[14]
Maksudnya,
apabila yang mengkritik adalah orang yang tidak siqah, sedangkan yang
dikritik adalah orang yang siqah, maka kritikan orang yang tidak siqah
tersebut harus ditolak.
Alasannya,
orang yang bersifat siqah dikenal lebih berhati-hati dan lebih cermat
daripada orang yang tidak siqah, dalam hal ini dapat dikemukakan
pernyataan al-A’raj (w.117 H) berkata bahwa Abu Hurairah banyak menerima hadis
dari Nabi Muhammad saw., selalu hadir pada majelis Nabi Muhammad saw.,
dan tidak akan lupa apa yang telah didengarnya dari Nabi Muhammad saw.
Pernyataan al-A’raj menunjukkan bahwa Abu Hurairah merupakan periwayat hadis
yang siqah, karena Al-A’raj tergolong kritikus yang siqah.[15]
5. لَايُقْبَلُ الجَرْحُ فِيْ شَخْصٍ أَجْمَعُوْا عَلَى
تَعْدِيْلِهِ
Artinya: Tidak
diterima celaan yang diperhadapkan kepada orang yang telah disepakati keadilannya.[16]
Maksudnya,
apabila nama periwayat memiliki kesamaan ataupu kemiripan dengan nama periwayat
lain, lalu salah seorang dari periwayat itu dikritik dengan celaan, maka
kritikan itu tidak dapat diterima, kecuali telah dapat dipastikan bahwa
kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat adanya kesamaan atau kemiripan
nama tersebut.
Alasanya, suatu
kritikan harus jelas sasarannya. Dalam mengkritik pribadi seseorang, maka orang
yang dikritik haruslah jelas dan terhindar dari keragu-raguan atau kekacauan.
Pendukung teori ini adalah ulama ahli kritik hadis.
6. الجَرْحُ النَّاشِئُ عَنْ عَدَاةِ دُنِيَوِيَّةِ لَا يَعْتَدُ
بِهِ
Artinya: Celaan yang dikemukakan oleh orang yang mengalami
permusuhan dalam masalah keduniawian tidak perlu diperhatikan.[17]
Maksudnya,
apabila kritikus yang mencela periwayat tertentu memiliki perasaan yang
bermusuhan dalam masalah keduniawian dengan pribadi periwayat yang dikritik
dengan celaan itu, maka kritikan tersebut harus ditolak.
Alasannya,
bahwa pertentangan pribadi dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya
penilaian yang tidak jujur. Kritikus yang bermusuhan dalam masalah dunia dengan
periwayat yang dikritik dengan celaan dapat berlaku tidak jujur karena didorong
oleh rasa kebencian.[18]
Dari sejumlah
teori yang disertai dengan alasannya masing-masing, maka menurut penulis, yang
harus dipilih adalah teori yang mampu menghasilkan penilaian yang lebih
objektif terhadap para periwayat hadis baik yang berhubungan dengan intergritas
kepribadiannya maupun kapasitas intelektualnya.
Dengan
demikian, dapat ditegaskan bahwa apabila seorang rawi di-jarh oleh para
ahli kritik yang siqah sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus
ditolak. Dan apabila seorang rawi dipuji sebagai orang yang adil, niscaya
periwayatannya diterima.
Dalam
menetapkan Rijal al-Hadis, para ulama telah melaksanakan sebuah usaha
untuk mengkritik perawi dan menerangkan keadaan-keadaan mereka. Ada tiga
peristiwa penting yang mengharuskan adanya kritik atau penelitian para perawi
(sanad) hadis.[19]
Dalam hubungan
ini, para ulama telah membuat undang-undang guna menetapkan mana orang-orang
yang boleh diterima riwayatnya dan mana yang tidak. Mana yang boleh ditulis
hadisnya dan mana yang tidak. Dan mereka menerangkan mana orang-orang yang
tidak boleh sama sekali diterima hadisnya; lahirlah ilmu Jarhi wa Ta’dil.[20]
C. Segi-Segi Rijal al-Hadis yang Diteliti
Para ulama
hadis melakukan penelitian Rijal al-Hadis denga menggunakan metode beragam.
Dapat diklasifikasikan menjadi dua: Tarikhur Ruwat dan Jarh wa
Ta’dil. Untuk memberikan gambaran tentang kegiatan penelitian mereka dapat
dilihat dalam bentuk buku:
a. Kitab-kitab Tarikh ar-Ruwat
Kitab ini, berisi sejarah perawi-perawi hadis.
Membahas tentang kapan dan dimana seorang rawi dilahirkan, dari siapa ia
menerima hadis, siapa yang pernah mengambil hadis dari padanya. Dan diterangkan
pula kapan ia wafat.[21]
Untuk menulis
kitab Tarikh ar-Ruwat, ulama menggunakan metode berikut:
1. Mengelompokkan perawi berdasarkan angaktan
tertentu yang disebut Thabaqat.
2. Menyusun periwayat berdasarkan tahun, dalam hal
ini penulisnya menyebutkan tahun wafat perawi, lalu menulis biografinya dan
riwayat yang disampaikan. Ini dapat dilihat dalam kitab Tarikh al-Islam
oleh al-Dzahabi.[22]
3. Menyusun periwayat secara alfabetis, metode seperti ini sangat
membantu para penulis yang membahas apara periwayat hadis.
4. Menyusun periwayat berdasarkan negeri,
penulisnya mengemukakan para ulama dari satu negeri dan mengemukakan keutamaan
suatu negeri, kemudian menyebutkan para sahabat yang ada disana, menjadikanya
tempat tinggal atau hanya sekedar lewat saja, lalu menyebutkan semua periwayat
secara alfabetis.
5. Menyususn berdasarkan Asma' (nama asli) perawi Kunna, Alqab Ansab
(keturunan), dan berdasar Ikhwah
dan Akhwat (saudara laki-laki dan saudara perempuan).
b.
Kitab-kitab Jarh
wa al- Ta’dil
Sehubungan dengan kitab Tarikh
al-Ruwat, kitab al-Jarh wa al-Ta‘dil memberi informasi tentang
kualitas pribadi seorang perawi, baik dari segi integritas kepribadiannya
maupun dari segi kapasitas intelektualnya.Dengan demikian dapat ditegaskan
bahwa usaha para ulama hadis dalam mengerahkan segala kemampuannya untuk
melakukan penelitian terhadap Rijal al-Hadis adalam dalam rangka
memberikan justifikasi tentang kredibilitas para perawi hadis, dan juga sebagai
upaya untuk mengenal lebih dekat para periwayat hadis agar dapat mengetahui
lebih rinci tentang kondisi periwayat tersebut, Sehingga dapat menentukan
diterima atau ditolaknya suatu hadis.[23]
D. Kaidah-Kaidah al-Jarh wa Ta’dil
Dalam
kaitan dengan kaidah jarh wa ta’dil, menurut Hasbi Ash-Shidiqie yang
dikutip oleh M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, maka kaidah ini dibagi atas dua
macam kaidah yaitu sebagai berikut:
1. Al-Naqd
al-Khariji atau kritik luaran, maksudnya ilmu jarh wa ta’dil pada
bagian ini lebih banyak berbicara kepada bagaimna hadis itu diriwayatkan,
tentang sah tidaknya suatu periwayatan,
dan berkaitan dengan keadaan para rawi dan kadar kepercayaannya terhadap
mereka.
2. Al-Naqd
al-Dakhili atau kritik dari dalam. Bagian ini lebih banyak berbicara hadis
itu sendiri, apakah maknanya shahih atau tidak, dan apa jalan-jalan yang
dilalui dalam menuju pada kesahihannya.[24]
E. Maratib al-Jar wa Ta’dil
Dr. Muhammad
Dhiya al-Rahman al-A’zhami, dalam kitabnya Dirasat fi al-Jarh wa al-Ta’dil h.
226-230, yang dikutip oleh Drs.H. Muhammad Yahya, M.Ag, telah memberikan
urutan-urutan lafadz jarh wa ta’dil sebagai berikut:
1.
Urutan lafadz al-Jarh
a) ahl
al-Kadzib. Inilah yang biasa disebut dengan matruk al-Hadis; wahiy
al-Hadis; kadzzab; saqith; ma akdzabahu; dajjal; dan muttaham bi
al-Kadzib.
b) ahl
al-Ghaflah wa al-nisyan. Juga biasa disebut: dhaif al-Hadis; majhul
c) ahl
al-Ghalath.[25]
2.
Urutan lafadz ta’dil:
a) al- Tsat
al-Hafizh al-Wara’ al-Muttaqiy al-Jahbadz al-Naqid li al-Hadis.
b) al-Adl fi
Nafsihi, al-Tsabt fi Riwayatihi, al-Shaduq fi Naqlihi, al-Wara’ fi Dinihi,
al-Hafidz Lihadisihi al-Mutqin Fihi. Itulah seorang al-‘Adl yang hadisnya
dapat dijadikan hujjah, dan perawinya di tsiqahkan.
c) al-Shaduq,
al-Wara’, al-Tsabt, al-Ladzi Yahimu Ahyanan
d) al-Shaduq
al-Wara’, al-Mughaffal al-Ghalib ‘Alayhi al-Wahm wa al-Khatha’ wa al-Ghalath wa
al-Sahw. Perawi model ini ditulis hadisnya dalam masalah at-Targhib wa
al-Tarhib, zuhud dan etika, tetapi hadis-hadisnya dalam masalah
“halal-haram” tidak bisa dijadikan hujjah.[26]
Sedangkan
maratib jarh dan ta’dil oleh Manna al-Qathan adalah sebagai berikut:
1.
Muratib al-Jarh
Tingkatan
Pertama:
Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam
tingkatan al-Jarh (kritikan) seperti: Layyin al-Hadis (lemah
hadisnya), atau Fiihi maqaal (dirinya dibicarakan), atau fiihi
dha’fun (padanya ada kelemahan).
Tingkatan
Kedua:
Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh
dijadikan sebagai hujjah, seperti: “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, dhaif,
ia mempunyai hadis-hadis yang munkar”, atau majhul, (tidak
diketahui kondisinya).
Tingkatan
Ketiga:
Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis hadisnya, seperti:Fulan daha’if
jiddan (dhaif sekali), atau wahin
marrah (sangat lemah), atau tidak ditulis hadisnya”, atau tidak halal
periwayatan hadis darinya”, atau laisa bisya’in (tidak ada apa-apanya),
kecuali menurut Ibnu Ma’in, ungkapan “laisa bisya’in” sebagai petunjuk
bahwa hadis perawi itu sedikit.
Tingkatan
keempat:
Yang menujukkan tuduhan dusta atau pemalsuan hadis, seperti: Fulan muttaham
bil kadzib (dituduh berdusta), atau “dituduh memalsukan hadis”, atau “mencuri
hadis”, atau “matruk” (yang ditinggalkan), atau laisa bi tsiqah
(bukan orang yang terpercaya).
Tingkatan
kelima:
Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya, seperti: kadzdzab
(tukang pendusta), atau dajjal, atau wadhdha’ (pemalsu hadis), atau yakzib
(dia berbohong), atau yadha’ (dia memalsukan hadis).
Tingkatan
keenam:
Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan dan ini
seburuk-buruk tingkatan, seperti: “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “
ia adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.[27]
2.
Muratib al-Ta’dil
Tingkatan
pertama:
Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dilan, atau dengan
menggunakan wazan “af’ala” seperti: “Fulan kepadanyalah puncak ketetapan
dalam periwayatan”, atau “Fulan orang yang paling tepat periwayatan dan
ucapannya”, atau “Fulan orang yang sangat terpercaya”, atau “Fulan orang yang
paling kuat hafalan dan ingatannya”.
Tingkatan
kedua:
Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ketsiqahannya, ke’adilan
dan ketetapan periwayatan-nya, baik dengan lafadz maupun dengan makna, seperti:
“Tsiqah-tsiqah”, atau “Tsiqah-Tsabt”, atau “Tsiqah dan
terpercaya (ma’mun)”, atau “Tsiqah dan hafidz”.
Tingkatan
ketiga:
Yang menunjukkan adanya penstiqahan tanpa adanya penguatan
atau hal itu, seperti: tsiqah, tsabt, hujjah, mutqin.
Tingkatan
keempat:
Yang menunjukkan adanya ke’adilan dan kepercayaan tanpa
adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian, seperti: Shaduq
(jujur), ma’mun (dipercaya), mahalluhu ash-Shidq (ia tempatnya
kejujuran), atau la ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya).
Tingaktan
kelima:
Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan, seperti:
“Fulan Syaikh” (fulan seorang syekh), “Ruwiya ‘anhu al-Hadis”
(orang meriwayatkan hadis darinya), atau “hasan al-Hadis” (yang baik
hadisnya).
Tingkatan
keenam:
Isyarat yang mendekati pada celaan (jarh), seperti: shahih
al-Hadis (hadisnya lumayan), atau “yuktabu haditsuhu” (ditulis
hadisnya).[28]
F.
Sikap Kritikus Hadis dalam Menilai Rijal al-Hadis
Dalam mengemukakan kritikan, sikap ulama ahli kritik hadis ada yang “ketat”
(tasyaddud), ada yang “longgar” (tasahhul), dan ada yang berada
antara kedua sikap itu, yakni “moderat” ( tasawut) .[29]
Ulama yang dikenal sebagai mutasyaddid ataupun mutasahil , ada yang
berkaitan dengan sikap dalam menilai kesahihan hadis dan ada yang berkaitan
dengan sikap dalam menilai kelemahan atau kepalsuan hadis. An-Nasa’i (wafat 303
H/915 M) dan ‘Ali bin ‘Abdillah bin Ja’far as-Sa’di al-Madini (wafat 234 H/849
M) dikenal sebagai mutasyaddid dalam menilai kesiqaan periwayat, yang berarti
juga dalam menilai kesahihan suatu hadis.
Selanjutnya, Al-Hakim an-Naisaburi (Wafat 911 H/1505 M) dikenal sebagai
mutasahil dalam menyatakan kepalsuan suatu hadis, dan az-Zahabi (wafat 748
H/1348 M) dikenal sebagai mutawasit dalam menilai periwayat dan kualitas hadis.
penggolongan ini bersifat umum dan tidak untuk setiap penelitian yang mereka hasilkan.[30]
Adanya perbedaan sikap para kritikus hadis dalam menilai periwayat dan
kualitas hadis tersebut, berarti bahwa dalam penelitian hadis yang nilai tidak
hanya para periwayat hadis saja, tetapi juga para kritikusnya, dan sekiranya
terjadi perbedaan dalam mengetik, maka sikap kritikus harus menjadi bahan
pertimbangan dalam menentukan isi kritik yang lebih obyektif.
Dalam hubungan ini, ulama telah mengemukakan beberapa syarat bagi seseorang
yang dapat dinyatakan sebagai al-jarh wal-muaddil;
1. Alim 5. Tidak terkena Jarh
2. Bertaqwa 6. Tidak fanatic terhadap sebagai perawi
4. Jujur
G. Kitab-Kitab Rujukan dalam Penelitian Rijal
al-Hadis
Sejumlah
kitab telah memmuat riwayat hidup para periwayat hadis. Dalam kitab-kitab
tersebut ada yang secara langsung menyebut nama kitab sebagai kitab jarh wa
ta’dil dan ada yang tidak sacara langsung menamakannya, walaupun kitab itu
isinya secara keseluruhan memuat tentang biografi para periwayat hadis yang
tentunya mecakup jarh wa ta’dil para periwayat hadis di dalamnya.[32]
Dalam
penulisan kitab tentang biografi para periwayat hadis, para penyusunnya
menggunakan metode penulisan tersendiri, sebagaimana dikemukakan oleh
al-Tahahhan,[33]
sedikitnya ada 7 jenis penulisan kitab biografi para periwayat hadis oleh
penulisnya yaitu sebagai berikut:
1.
Kitab-kitab khusus menulis biografi para sahabat Nabi saw., seperti:
(a.
الإِسْتِعَابُ
فِي مَعْرِفَةِ الأَصْحَابِ لابْنِ عَبْدِ البَرِّ الأَنْدَلُسِي
Di dalamnya memuat sebanyak 3500 biografi sahabat disusun
berdasarkan abjad.
(b.أُسُدُ
الغَابَةِ فِي مَعْرِفَةِ الصَّحَابَةِ
Disusun oleh Izzuddin Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn al-Atsir
al-Jazary (630 H) berisi 7554 biografi nama sahabat.
(c.الإِصَابَةُ
فِي تَمْيِيْزِ الصَحَابَةِ
Oleh Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H) nama-nama sahabat disusun
secara berurutan berdasarkan huruf-huruf kamus.
2. Kitab-kitab
Thabaqat; kitab yang disusun berdasarkan generasi, dari masa ke masa sejak
zamannya penulis kitab ini, seperti:
a. الطَّبَقَاتُ
الكُبْرَى
Disusun oleh Abu Abdillah Muhammad ibn Saad, katib al-Waqidi (230
H)
b. تَذْكِرَةُ الحُفَّاظِ
Karangan Abu Abdillah Hammad ibn Ahmad ibn Utsman Azzahabi (750 H),
berisi biografi sahabat para penghafal hadis Nabi yang berjumlah 1176 sahabat.
3. Kitab-kitab
Rawi Hadis secara umum; mencakup seluruh periwayat hadis tanpa memberikan
kategori berupa pengkhususan, atau tidak memisahkan periwayat tsiqah dan tidak
tsiqah. Seperti :
التَّارِيْخُ الكَبِيْرُ (at-Tarikhu
al-Kabir) disusun oleh Imam al-Bukhari (256 H); kitab ini berisi 12.315
biografi, bahkan oleh al-Katthan sebagaimana dikutip oleh al-Tahhan dan
kitabnya al-Risalah al-Musthafah, mengatakan bahwa isi kitab biografi التَّارِيْخُ
الكَبِيْرُ (at-Tarikhu
al-Kabir) sebanyak 40.000 nama periwayat.
4.
Kitab memuat tentang para tokoh hadis seperti :
a. الهَدَايَةُ وَالإِرْشَادُ فِي
مَعْرِفَةِ أَهْلِ الثِّقَةِ وَالسَّدَادِ
Disusun oleh Abu Nashr Ahmad ibn Muhammad al-Kalabadzi (398 H). Kitab
ini khusus memuat biografi tokoh-tokoh yang terdapat pada kitab shahih
al-Bukhari.
b. رِجَالُ صَحِيْح ٍمسْلِمٍ
Kitab ini disusun oleh Abu Bakar Ahmad ibn Ali al-Asfahani yang
dikenal dengan Ibnu Manjuh (438 H).
c. الكَمَالُ فِي أَسْمَاءِ الرِّجَالِ
Kitab tersebut disusun oleh Hafidz Abdul Ghani al-Maqdisi, memuat
biografi tokoh hadis pada kitab-kitab sunnah. Kitab ini kemudian diringkas oleh
beberapa tokoh ilmu rijal al-Hadis sebagai berikut: 1) Tahzib al-Kamal oleh
Mizzy (742 H). 2) Tazib al-Tahzib oleh al-Zahaby, dan kitabnya yang lain
berjudul al-Kasyif fi Ma’rifat Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah. 3)
Tahzib al –Tahzib dan juga Taqrib al-Tahzib ileh Ibnu Hajar al-Asqalany (852
H).
5. Kitab-kitab
menurut rawi yang tsiqah. Seperti: a) kitab al-Tsiqah, oleh Abu Hasan Ahmad ibn
Abdullah ibn Shaleh al-Ajly (261 H). b) Kitab al-Tsiqah oleh Muhammad ibn Ahmad
ibn Hibban al-Busty (354 H), dll.
6. Kitab khusus
memuat para rawi dhaif, seperti: a) Dhuafa al-Kabir dan Dhuafa al-Shagir oleh
al-Bukhari, b). Dhuafa al-Matrukun oleh al-Nasa’I, c). Kitab Dhuafa oleh Abu Ja’far
Muhammad ibn Amr al-Uqaily, dll.
7.
Kitab memuat biografi para tokoh hadis pada negara tertentu, seperti:
a. Mukhtasar
Thabaqat al-Ulama Ifriqiyah wa Tunis oleh Abu al-Arf Muhammad ibn Ahmad
al-Qoirawany (333 H).
b. Tarikh
Bagdad, oleh Ahmad ibn Ali Ibn Tsabit al-Khatib al-Bagdady (463 H), dll.
III.
PENUTUP
Kesimpulan :
1. Rijal al-Hadis adalah Ilmu yang membahas tentang kedaan-keadaan
perawi-perawi, perjalanan hidup mereka, baik mereka dari golongan sahabat,
golongan tabi’in dan tabi’it tabi’in. Dalam pembahasan rijal al-Hadis ada
beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu Jarh wa al-Ta’dil, Tabaqah, dan
Tarikh al-Ruwah.
2. Untuk menetapkan Rijal al-Hadis, mem erlukan teknik, yaitu Al-Jarh didahulukan atas al-Ta‘dil,
Mengutamakan pujian drpd celaan, Tidak menerima keritikan org daif terhadap org
siqah, Al-Jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan, dan Al-Jarh
yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian
tidak perlu diperhatikan.
3. Segi-segi Rijal al-Hadis yang diteliti adalah Kitab-kitab Tarikh
al-Ruwatdan Kitab-kitab al-Jarh wa al-Ta‘dil
4. Kaidah Jarj wa al-Ta’dil ada dua yaitu
a. Bersandar kepada cara-cara periwayatan hadis, sah periwayatan, keadaan
perawi, dan kadar kepercayaan mereka. Ini disebut Naqdual-Kharijiyyun
atau kritik yang datang dari luar hadis (kritik yang tidak mengenai diri
hadis).
b. Berpautan dengan hadis sendiri, apakah maknanya shahih atau tidak dan apa
jalan-jalan keshalihannya dan ketiadaan shalihannya, ini dinamakan Naqdu
al-Dakhiliyyun atau kritik dari dalam hadis.
5. Maratibal-Jarh wa al-Ta‘dil dibedakan antara Peringkat Ta‘dil
dan lafal-lafalnya dan Peringkat Jarh dan lafal-lafalnya.
6. Adapun sikap kritikus Hadis dalam menilai Rijal al-Hadis ada yang
“ketat” (Tasyaddud), ada yang “longgar” (Tasahud), dan ada yang
berada antara kedua sikap itu, yakni “moderat” (Tasawuf)
7. Kitab-kitab yang dapat dijadikan rujukan diantaranya adalah
الإِسْتِعَابُ
فِي مَعْرِفَةِ الأَصْحَابِ لابْنِ عَبْدِ البَرِّ الأَنْدَلُسِي
أُسُدُ
الغَابَةِ فِي مَعْرِفَةِ الصَّحَابَةِ
الإِصَابَةُ
فِي تَمْيِيْزِ الصَحَابَةِ
الطَّبَقَاتُ
الكُبْرَى
تَذْكِرَةُ
الحُفَّاظِ
Daftar
Pustaka
Abdullatif, Abdul Mawjud
Muhammad. Ilmu
Jarh wa Ta’dil, diterjemahkan oleh A. zarkasyi
Chumaidy, Kredibilitas Para Perawi dan Pengimplementasiannya Cet.I; Bandung: Gema Media Pusakatama,
2003.
Abdurrahman,
M. dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, Cet. 2; Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013.
Ajjaj,
Muhammad. Ushul al-Hadis, Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Maktabah Dar
al-Fikr, 1981.
al-Qathan,
Manna. Mabahaits fi Ulum al-Qur’an, terj Mifdhal Abdurrahman, Pengantar
Studi Ilmu Hadis, Cet.1; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013.
al-Thahhan,
Mahmud. Taisir Musthalaha al-Hadis, terj. Abu Fuad dengan judul Ilmu
Hadis Praktis, Cet. 1; Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005.
Ash-Shiddieqy,
Teungku Muhammad. Hasbi. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis, Cet. 4; Semarang: Pustaka Putra, 1999.
Bustamin dan M. Isa H.A. Metodologi Kritik Hadis, Cet.1: Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004.
Hasain, Abu Labubah.
al-Jarh wa at-Ta’dil, Riyad: Dar al-Liwa’I , 1399 H/ 1979 M.
Ismail, M. Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, Cet. 3; Jakarta:
Bulan Bintang, 2005.
……..,
Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Cet. 1; Jakaeta: Bulan Bintang, 1992.
Munawwir,
Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus
Arab-Indonesia, Cet. 14; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
PL,
Noor Sulaiman. Antologi Ilmu Hadis, Cet.
2; Jakarta: Gaung Persada Press, 2009.
Rahman,
Fathur. Ikhtiar Mushthalah al-Hadis, Cet. 1; Bandung: Al-Ma’arif, 1974.
Tahhan, Mahmud.
Taisir Musthalah al-Hadis, Surabaya: Maktabah al-Hidayah, t.t.
Yahya,
Muhammad. Kaidah-Kaidah Periwayatan
Hadis Nabi, Cet. 1; Makassar: Alauddin University Press, 2012.
Zein,
M. Ma’shum. Ilmu Memahami Hadis Nabi; Cara Praktis Menguasai Ulum al-Hadis
dan Musthalah Hadis, Cet. 1; Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2014.
[1]Mahmud Tahhan, Taisir
Musthalah al-Hadis, (Surabaya: Maktabah al-Hidayah, t.t), h. 173.
[2]Ahmad Warson
Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Cet. 14; Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 180.
[3]Abu Labubah
Hasain, al-Jarh wa at-Ta’dil, (Riyad: Dar al-Liwa’I , 1399 H/ 1979 M),
h. 19.
[4]M. Ma’shum
Zein, Ilmu Memahami Hadis Nabi; Cara Praktis Menguasai Ulum al-Hadis dan
Musthalah Hadis, (Cet. 1; Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2014), h. 204.
[5]Ahmad Warson
Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, h. 972.
[6]Muhammad Ajjaj,
Ushul al-Hadis, Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Maktabah Dar al-Fikr,
1981), h. 261.
[7]Muhammad Ajjaj,
Ushul al-Hadis, Ulumuhu wa Mushthalahuhu, h. 261.
[8]M. Ma’shum
Zein, Ilmu Memahami Hadis Nabi; Cara Praktis Menguasai Ulum al-Hadis dan
Musthalah Hadis, h. 205.
[9]M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis:
Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah,(Cet. 3; Jakarta:
Bulan Bintang, 2005), h. 77.
[10]M. Syuhudi
Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, h. 78.
[11]Abdul Mawjud Muhammad
Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, diterjemahkan oleh A. zarkasyi
Chumaidy, Kredibilitas Para Perawi dan Pengimplementasiannya (Cet.I; Bandung: Gema Media Pusakatama, 2003), h. 40.
[12]M. Syuhudi
Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, h. 78.
[13]Abdul Mawjud Muhammad
Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, diterjemahkan oleh A. zarkasyi
Chumaidy, Kredibilitas Para Perawi dan Pengimplementasiannya, h.79.
[14]M. Syuhudi
Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, h. 79.
[15]Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, (Cet.1: Jakarta:Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 52.
[16]M. Syuhudi
Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, h. 80.
[17]M. Syuhudi
Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, h. 81.
[18]M. Syuhudi
Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, h. 81.
[20]Teungku
Muhammad. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Cet. 4;
Semarang: Pustaka Putra, 1999), h. 79.
[21]Fathur Rahman, Ikhtiar
Mushthalah al-Hadis, (Cet. 1; Bandung: Al-Ma’arif, 1974), h. 292.
[22]Lihat, M. ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis
‘Ulumuhu wa Mustalahahu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h.225.
[23]Fathur Rahman, Ikhtiar
Mushthalah al-Hadis, h. 295.
[24]M. Abdurrahman
dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, (Cet. 2; Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013), h. 92.
[25]Muhammad Yahya,
Kaidah-Kaidah Periwayatan Hadis Nabi, (Cet. 1; Makassar: Alauddin
University Press, 2012), h. 158.
[26]Muhammad Yahya,
Kaidah-Kaidah Periwayatan Hadis Nabi, h. 158.
[27]Manna
al-Qathan, Mabahaits fi Ulum al-Qur’an, terj Mifdhal Abdurrahman, Pengantar
Studi Ilmu Hadis, (Cet.1; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013), h. 89-90.
[28]Manna
al-Qathan, Mabahaits fi Ulum al-Qur’an, terj Mifdhal Abdurrahman, Pengantar
Studi Ilmu Hadis, h. 88-89.
[29]M. Syuhudi
Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Cet. 1; Jakaeta: Bulan
Bintang, 1992), h.74.
[30]M. Syuhudi
Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 75.
[31]Noor Sulaiman
PL, Antologi Ilmu Hadis, (Cet. 2; Jakarta: Gaung Persada Press, 2009),
h. 177.
[32]Muhammad Yahya,
Kaidah-Kaidah Periwayatan Hadis Nabi, h. 165.
[33]Mahmud
al-Thahhan, Taisir Musthalaha al-Hadis, terj. Abu Fuad dengan judul Ilmu
Hadis Praktis, (Cet. 1; Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005), h. 154-189.
masya Allah
BalasHapus