Sabtu, 08 Desember 2018

PENELITIAN RIJAL AL-HADIS


I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana yang diketahui bahwa dahulu hadis di ajarkan kepada umat Islam yaitu dari Rasulullah saw., kepada para sahabat. Kemudian sahabat pun meriwayatkannya kepada tabi’in dengan lisan juga dengan mengandalkan daya ingat. Hal ini terjadi karena Rasulullah saw melarang penulisan hadis. Tentu selama kurun waktu yang begitu panjang sangat memungkinkan terjadinya kesalahan bahkan mungkin juga penyimpangan hadis. Oleh karena itu, dengan pertimbangan ini menggugah ulama untuk mencurahkan kehidupannya mencari, mengumpulkan dan meneliti hadis Nabi saw., dalam kurun waktu yang lama telah tersebar ke perbagai penjuru daerah Islam yang terbentang luas. Upaya-upaya tersebut bertujuan tidak lain adalah untuk mendapatkan keyakinan bahwa hadis-hadis Nabi saw., benar-benar berasal dari Nabi saw.
Untuk menentukan apakah seorang rawi dapat dipercaya atau tidak para ulama hadis menggunkan sejarah biografi para rawi tersebut. Dalam biografi dipertanyakan pula nama asli perawi, kuniah, laqab, kapan lahir dan wafatnya, di mana tempat tinggalnya, tingkatan (thabaqat) sahabat, siapa saja gurunya, murid-muridnya dan bagaimana moral serta intelektualnya.
Pada perkembangannya penelitian biografi para perawi hadits tidak hanya pada perawi saja yang terlibat dalam sanad hadits, tetapi juga kepada para pengkritik perawi dalam sanad.
Sehingganya pada makalah ini, penulis akan menyajikan materi tentang Penelitian Rijal al-Hadis.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumusakan fokus masalah yaitu sebagai beriku:
1. Apa pengertian Ilmu Rijal al-Hadis dan Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil ?
2. Bagaimana teknik menetapkan Rijal al-Hadis ?
3. Apa saja segi-segi Rijal al-Hadis yang diteliti ?
4. Bagaimana kaidah-kaidah al-Jarh wa Ta’dil ?
5. Bagaimana maratib al-Jar wa Ta’dil ?
6. Bagaimana sikap kritikus hadis dalam menilai Rijal al-Hadis ?
7. Apa saja kitab-kitab rujukan dalam penelitian Rijal al-Hadis ?













II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Rijal al-Hadis dan Ilmu al-Jar wa Ta’dil
Ilmu rijal al-Hadis ialah:
عِلْمُ رِجَالِ الحَدِيْثِ هُوَ عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ رُواَّةُ الحَدِيْثِ مِنْ حَيْثُ أَنَّهُمْ رُوَّاةٌ لِلْحَدِيْثِ
Artinya:
 “Ilmu untuk mengetahui para perawi hadis dalam kapasitasnya sebagai perawi hadis.”
Maksudnya ialah ilmu yang membicarakan seluk-beluk dan sejarah kehidupan para perawi, baik dari generasi sahabat, tabi’in maupun tabi’it tabi’in.
Dari penegertian tersebut, dapat dipahami bahwa kedudukan ilmu ini sangat penting dalam mempelajari sebuah hadis. Lebih-lebih sebab kemunculannya yang terkait erat dengan periwayatan hadis, dan bahkan sudah mengambil porsi khusus dalam mempelajari persoalan-persoalan di sekitar sanad.[1] Dan di atas semua itu, tidak bisa disangkal bahwa nilai suatu hadis sangat dipengaruhi oleh karakter serta perilaku perawinya.
Adapun ilmu jarh wa ta’dil memiliki dua kosa-kata yaitu jarh wa ta’dil. Jarh berasal dari kata jaraha-yajrahu, artinya “melukai”, baik dalam bentuk fisik (seperti terkena senjata tajam) maupun non fisik (seperti sakit hati lantaran perkataan kasar yang dilontarkan sesorang). Jadi, kata jarh dalam bahasa berarti “luka” atau “cela” atau “cacat”.[2] Akan tetapi, jika digabungkan dengan kata ilm, artinya adalah “ilmu yang membahas kecacatan para perawi hadis, baik pada sisi keadilan maupun kedahabitannya”.
Sedangkan menurut istilah adalah :
الجَرْحُ هُو َالطَّعْنُ فِي رَاوِى الحَدِيْثِ بِمَا يَسْلُبُ أَوْ يَخِلُّ بِعَدَالَتِهِ أَوْ ضَبْطِهِ
Artinya: “Jarh adalah kecacatan para perawi hadis lantaran adanya sesuatu yang dapat merusak sikap keadilan dan kedhabitan (kekuatan hafalan) perawi.[3]
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa jarh adalah tampak jelasnya sifat perawi yang tidak adil atau yang buruk hafalan dan kecermatannya, dan dengan keadaan itu riwayat yang ia sampaikan menjadi lemah atau gugur.
Oleh sebab itu, kata jarh  bermakna sama dengan kata tarjih. Hanya saja, kata jarh tidak berarti mencari-mencari ketercelaan seseorang karena memang sudah jelas menjadi karakternya. Sedang tarjih berorientasi pada pencarian dan pengungkapan ketercelaan.[4]
Dan adapun ta’dil (تعديل) berasal dari kata dasar ‘adl (عدل) yang berarti sama dengan kata at-taswiyah (التسوية), artinya “menyamakan”. Atau dari kata dasar ‘adalah (عدلة) , yang berarti “pengungkapan sifat-sifat adil yang dimiliki seseorang”.[5] Maksudnya yaitu sistem pengungkapan sifat-sifat asli dan murni yang terdapat pada diri perawi sehingga tampak dengan jelas keadilan pribadinya, dan karena itu, riwayat yang ia sampaikan dapat diterima.

Sedang menurut istilah adalah:
العَدْلُ هُوَ عَكْسُ الجَرْحِ وَ هُو َتَزْكِيَّةُ الرَّاوِى وَالحُكْمُ عَلَيْهِ بِأَنَّهُ عَدْلٌ أَوْ ضَابِطٌ.
Artinya: “Adl adalah lawan kata al-Jarh yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan menetapkan bahwa ia benar-benar atau kuat hafalannya.[6]
Dari dua pengertian di atas,   jarh wa ta’dil menurut istilah  yiatu:
هُوَ عِلْمُ الَّذِي يَبْحَثُ فِي أَحْوَالِ الرُّوَّاةِ مِنْ حَيْثُ قَبُوْلُ رِوَايَاتِهِمْ أَوْ رَدِّهَا
Artinya: “Ilmu yang membahas keadaan para perawi hadis dari sisi diterima dan ditolaknya periwayatan mereka”.[7]
Ilmu yang membahas berbagai hal yang berkaitan dengan ketercelahan (Jarh) dan keadilan (ta’dil) dikenal dengan sebutan ilmu jarh wa ta’dil, sedangkan ulama yang bergelut dalam bidang ini dikenal dengan sebutan at-Tarjih wa al-Mua’ddilah. Ilmu jarh dan ta’dil adalah salah satu alat untuk menunjukkan sifat negatif dan positif yang melekat pada para perawi hadis.[8]
B. Teknik Menetapkan Rijal al-Hadis
Para ulama ahli kritik hadis telah menetapkan suatu teknik atau teori agar penelitian terhadap periwayat hadis dapat lebih objektif, sebagai berikut:
1. التَّعْدِيْلُ مُقَدَّمٌ عَلَى الجَرْحِ  (Pujian didahulukan atas celaan).[9]       
 Maksudnya, bila seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai tercela oleh kritikus lainnya, maka yang dipilih adalah kritikan yang bersifat pujian. Alasannya, sifat dasar periwayat hadis adalah terpuji. Sedangkan sifat tercela merupakan sifat yang datang kemudian.  Karenanya, bila sifat dasar berlawanan dengan sifat yang datang kemudian, maka yang dimenangkan adalah sifat dasarnya.  Pendukung teori ini oleh an-Nasa’i (w. 303 H/915 M), namun pada umumnya ulama hadis tidak menerima teori tersebut, karena kritikus yang memuji tidak mengetahui sifat tercela yang dimiliki oleh periwayat yang dinilainya, sedang kritikus yang mengemukakan celaan adalah kritikus yang telah mengetahui ketercelaan periwayat yang dinilainya.
2. الَجرْحُ مُقَدَّمٌ عَلَى التَّعْدِيْلِ  (Celaan didahulukan atas pujian).[10]                                     
Maksudnya, bila seorang kritikus dinilai tercela oleh seorang kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah kritikan yang berisi celaan.
Alasannya adalah kritikus yang menyatakan celaan lebih paham terhadap pribadi periwayat yang dicelanya. Dan dasar untuk memuji seorang periwayat adalah persangkaan baik dari pribadi kritikus hadis, dan persangkaan baik itu harus “dikalahkan” bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat yang bersangkutan. Pendukung teori ini adalah kalangan ulama hadis, ulama fiqh, dan ulama ushul fiqh.
Dikatakan oleh Imam Ahmad, “setiap rawi yang telah ditetapkan ‘adalah-nya tidak akan diterima pen-tarjih-an dari seseorang kecuali telah betul-betul dan terbukti bahwa keadaan rawi itu mengandung sifat jarh.[11]
3. إِذَا تَعَارَضَ الجَارِحُ وَالعَدْلُ فَالحُكْمُ لِلْمُعَدِّلِ إِلَّا إِذَا ثَبَتَ الجَرْحُ الـمُفَسَّرُ
 Artinya: Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.[12]
 Maksudnya, apabila seorang periwayat dipuji oleh seorang kritikus tertentu dan dicela oleh kritikus lainnya, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali bila kritikan yang mencela menyertai penjelasan tentang bukti-bukti ketercelaan periwayat yang yang bersangkutan.
Alasannya, kritikus yang mampu menjelaskan sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya lebih mengetahui terhadap pribadi periwayat tersebut daripada kritikus yang hanya mengemukakan pujian terhadap periwayat yang sama.
Pendukung teori ini adalah jumhur ulama ahli kritik hadis. Namun, sebagian dari mereka ada yang menyatakan bahwa penjelasan ketercelaan yang dikemukakan haruslah relevan dengan upaya penelitian. Dan bila kritikus yang memuji telah mengetahui juga sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya itu dan dia memandang bahwa sebab-sebab ketercelaannya itu memang tidak relevan, maka kritikannya yang memuji tersebut yang harus dipilih.
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kontradiktif antara jarh dan ta’dil hanya bisa terjadi bila betul-betul tidak ditemukan jalan penyelesaiannya. Sedangkan kontradiktif yang masih memungkinkan dihilangkan tidak dikatakan kontradiktif, bahkan bisa ditempuh cara lain yaitu tarjih (dicari yang lebih unggul).[13]
Seperti seorang rawi di-rajh dengan penilaian fasik karena diketahui kefasikannya, tetapi taubat rawi itupun diketahui. Dengan demikian, rawi tersebut tidak termasuk jarh/berdusta pada Rasulullah saw.
4. إِذَا كَانَ الجَارِحُ ضَعِيْفًا فَلَا يُقْبَلُ جَرْحِهِ لِلثِّقَةِ
Artinya: Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah orang yang tergolong da’if, maka kritikannya terhadap orang yang siqah tidak diterima.[14]
Maksudnya, apabila yang mengkritik adalah orang yang tidak siqah, sedangkan yang dikritik adalah orang yang  siqah, maka kritikan orang yang tidak siqah tersebut harus ditolak.
Alasannya, orang yang bersifat siqah dikenal lebih berhati-hati dan lebih cermat daripada orang yang tidak siqah, dalam hal ini dapat dikemukakan pernyataan al-A’raj (w.117 H) berkata bahwa Abu Hurairah banyak menerima hadis dari Nabi Muhammad saw., selalu hadir  pada majelis Nabi Muhammad saw., dan tidak akan lupa apa yang telah didengarnya dari Nabi Muhammad saw. Pernyataan al-A’raj menunjukkan bahwa Abu Hurairah merupakan periwayat hadis yang siqah, karena Al-A’raj tergolong kritikus yang siqah.[15]

5. لَايُقْبَلُ الجَرْحُ فِيْ شَخْصٍ أَجْمَعُوْا عَلَى تَعْدِيْلِهِ
Artinya: Tidak diterima celaan yang diperhadapkan kepada orang yang telah disepakati keadilannya.[16]
Maksudnya, apabila nama periwayat memiliki kesamaan ataupu kemiripan dengan nama periwayat lain, lalu salah seorang dari periwayat itu dikritik dengan celaan, maka kritikan itu tidak dapat diterima, kecuali telah dapat dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat adanya kesamaan atau kemiripan nama tersebut.
Alasanya, suatu kritikan harus jelas sasarannya. Dalam mengkritik pribadi seseorang, maka orang yang dikritik haruslah jelas dan terhindar dari keragu-raguan atau kekacauan. Pendukung teori ini adalah ulama ahli kritik hadis.
6. الجَرْحُ النَّاشِئُ عَنْ عَدَاةِ دُنِيَوِيَّةِ لَا يَعْتَدُ بِهِ
Artinya: Celaan  yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tidak perlu diperhatikan.[17]
Maksudnya, apabila kritikus yang mencela periwayat tertentu memiliki perasaan yang bermusuhan dalam masalah keduniawian dengan pribadi periwayat yang dikritik dengan celaan itu, maka kritikan tersebut harus ditolak.
Alasannya, bahwa pertentangan pribadi dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak jujur. Kritikus yang bermusuhan dalam masalah dunia dengan periwayat yang dikritik dengan celaan dapat berlaku tidak jujur karena didorong oleh rasa kebencian.[18]
Dari sejumlah teori yang disertai dengan alasannya masing-masing, maka menurut penulis, yang harus dipilih adalah teori yang mampu menghasilkan penilaian yang lebih objektif terhadap para periwayat hadis baik yang berhubungan dengan intergritas kepribadiannya maupun kapasitas intelektualnya.
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa apabila seorang rawi di-jarh oleh para ahli kritik yang siqah sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Dan apabila seorang rawi dipuji sebagai orang yang adil, niscaya periwayatannya diterima.
Dalam menetapkan Rijal al-Hadis, para ulama telah melaksanakan sebuah usaha untuk mengkritik perawi dan menerangkan keadaan-keadaan mereka. Ada tiga peristiwa penting yang mengharuskan adanya kritik atau penelitian para perawi (sanad) hadis.[19]
Dalam hubungan ini, para ulama telah membuat undang-undang guna menetapkan mana orang-orang yang boleh diterima riwayatnya dan mana yang tidak. Mana yang boleh ditulis hadisnya dan mana yang tidak. Dan mereka menerangkan mana orang-orang yang tidak boleh sama sekali diterima hadisnya; lahirlah ilmu Jarhi wa Ta’dil.[20]

C.  Segi-Segi Rijal al-Hadis yang Diteliti
Para ulama hadis melakukan penelitian Rijal al-Hadis denga menggunakan metode beragam. Dapat diklasifikasikan menjadi dua: Tarikhur Ruwat dan Jarh wa Ta’dil. Untuk memberikan gambaran tentang kegiatan penelitian mereka dapat dilihat dalam bentuk buku:
a.    Kitab-kitab Tarikh ar-Ruwat
Kitab ini, berisi sejarah perawi-perawi hadis. Membahas tentang kapan dan dimana seorang rawi dilahirkan, dari siapa ia menerima hadis, siapa yang pernah mengambil hadis dari padanya. Dan diterangkan pula kapan ia wafat.[21]
Untuk menulis kitab Tarikh ar-Ruwat, ulama menggunakan metode berikut:
1.   Mengelompokkan perawi berdasarkan angaktan tertentu yang disebut Thabaqat.
2.   Menyusun periwayat berdasarkan tahun, dalam hal ini penulisnya menyebutkan tahun wafat perawi, lalu menulis biografinya dan riwayat yang disampaikan. Ini dapat dilihat dalam kitab Tarikh al-Islam oleh al-Dzahabi.[22]
3.    Menyusun periwayat secara alfabetis, metode seperti ini sangat membantu para penulis yang membahas apara periwayat hadis.
4.    Menyusun periwayat berdasarkan negeri, penulisnya mengemukakan para ulama dari satu negeri dan mengemukakan keutamaan suatu negeri, kemudian menyebutkan para sahabat yang ada disana, menjadikanya tempat tinggal atau hanya sekedar lewat saja, lalu menyebutkan semua periwayat secara alfabetis.
5.  Menyususn berdasarkan Asma' (nama asli) perawi Kunna, Alqab Ansab (keturunan), dan berdasar Ikhwah dan Akhwat (saudara laki-laki dan saudara perempuan).
b.    Kitab-kitab Jarh wa al- Ta’dil
Sehubungan dengan kitab Tarikh al-Ruwat, kitab al-Jarh wa al-Ta‘dil memberi informasi tentang kualitas pribadi seorang perawi, baik dari segi integritas kepribadiannya maupun dari segi kapasitas intelektualnya.Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa usaha para ulama hadis dalam mengerahkan segala kemampuannya untuk melakukan penelitian terhadap Rijal al-Hadis adalam dalam rangka memberikan justifikasi tentang kredibilitas para perawi hadis, dan juga sebagai upaya untuk mengenal lebih dekat para periwayat hadis agar dapat mengetahui lebih rinci tentang kondisi periwayat tersebut, Sehingga dapat menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadis.[23]
D.  Kaidah-Kaidah al-Jarh wa Ta’dil
Dalam kaitan dengan kaidah jarh wa ta’dil, menurut Hasbi Ash-Shidiqie yang dikutip oleh M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, maka kaidah ini dibagi atas dua macam kaidah yaitu sebagai berikut:
1. Al-Naqd al-Khariji atau kritik luaran, maksudnya ilmu jarh wa ta’dil pada bagian ini lebih banyak berbicara kepada bagaimna hadis itu diriwayatkan, tentang sah tidaknya  suatu periwayatan, dan berkaitan dengan keadaan para rawi dan kadar kepercayaannya terhadap mereka.
2. Al-Naqd al-Dakhili atau kritik dari dalam. Bagian ini lebih banyak berbicara hadis itu sendiri, apakah maknanya shahih atau tidak, dan apa jalan-jalan yang dilalui dalam menuju pada kesahihannya.[24]
E.  Maratib al-Jar wa Ta’dil
 Dr. Muhammad Dhiya al-Rahman al-A’zhami, dalam kitabnya Dirasat fi al-Jarh wa al-Ta’dil h. 226-230, yang dikutip oleh Drs.H. Muhammad Yahya, M.Ag, telah memberikan urutan-urutan lafadz jarh wa ta’dil sebagai berikut:
1. Urutan lafadz al-Jarh
a) ahl al-Kadzib. Inilah yang biasa disebut dengan matruk al-Hadis; wahiy al-Hadis; kadzzab; saqith; ma akdzabahu; dajjal; dan muttaham bi al-Kadzib.
b) ahl al-Ghaflah wa al-nisyan. Juga biasa disebut: dhaif al-Hadis; majhul
c) ahl al-Ghalath.[25]
2. Urutan lafadz ta’dil:
a) al- Tsat al-Hafizh al-Wara’ al-Muttaqiy al-Jahbadz al-Naqid li al-Hadis.
b) al-Adl fi Nafsihi, al-Tsabt fi Riwayatihi, al-Shaduq fi Naqlihi, al-Wara’ fi Dinihi, al-Hafidz Lihadisihi al-Mutqin Fihi. Itulah seorang al-‘Adl yang hadisnya dapat dijadikan hujjah, dan perawinya di tsiqahkan.
c) al-Shaduq, al-Wara’, al-Tsabt, al-Ladzi Yahimu Ahyanan
d) al-Shaduq al-Wara’, al-Mughaffal al-Ghalib ‘Alayhi al-Wahm wa al-Khatha’ wa al-Ghalath wa al-Sahw. Perawi model ini ditulis hadisnya dalam masalah at-Targhib wa al-Tarhib, zuhud dan etika, tetapi hadis-hadisnya dalam masalah “halal-haram” tidak bisa dijadikan hujjah.[26]
Sedangkan maratib jarh dan ta’dil oleh Manna al-Qathan adalah sebagai berikut:
1. Muratib al-Jarh
Tingkatan Pertama:
Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-Jarh (kritikan) seperti: Layyin al-Hadis (lemah hadisnya), atau Fiihi maqaal (dirinya dibicarakan), atau fiihi dha’fun (padanya ada kelemahan).
Tingkatan Kedua:
Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, seperti: “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, dhaif, ia mempunyai hadis-hadis yang munkar”, atau majhul, (tidak diketahui kondisinya).
Tingkatan Ketiga:
Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak  boleh ditulis hadisnya, seperti:Fulan daha’if jiddan  (dhaif sekali), atau wahin marrah (sangat lemah), atau tidak ditulis hadisnya”, atau tidak halal periwayatan hadis darinya”, atau laisa bisya’in (tidak ada apa-apanya), kecuali menurut Ibnu Ma’in, ungkapan “laisa bisya’in” sebagai petunjuk bahwa hadis perawi itu sedikit.
Tingkatan keempat:
Yang menujukkan tuduhan dusta atau pemalsuan hadis, seperti: Fulan muttaham bil kadzib (dituduh berdusta), atau “dituduh memalsukan hadis”, atau “mencuri hadis”, atau “matruk” (yang ditinggalkan), atau laisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya).
Tingkatan kelima:
Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya, seperti: kadzdzab (tukang pendusta), atau dajjal, atau wadhdha’ (pemalsu hadis), atau yakzib (dia berbohong), atau yadha’ (dia memalsukan hadis).
Tingkatan keenam:
Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan dan ini seburuk-buruk tingkatan, seperti: “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “ ia adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.[27]
2. Muratib al-Ta’dil
Tingkatan pertama:
Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dilan, atau dengan menggunakan wazan “af’ala” seperti: “Fulan kepadanyalah puncak ketetapan dalam periwayatan”, atau “Fulan orang yang paling tepat periwayatan dan ucapannya”, atau “Fulan orang yang sangat terpercaya”, atau “Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”.  
Tingkatan kedua:
Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ketsiqahannya, ke’adilan dan ketetapan periwayatan-nya, baik dengan lafadz maupun dengan makna, seperti: “Tsiqah-tsiqah”, atau “Tsiqah-Tsabt”, atau “Tsiqah dan terpercaya (ma’mun)”, atau “Tsiqah dan hafidz”.
Tingkatan ketiga:
Yang menunjukkan adanya penstiqahan tanpa adanya penguatan atau hal itu, seperti: tsiqah, tsabt, hujjah, mutqin.
Tingkatan keempat:
Yang menunjukkan adanya ke’adilan dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian, seperti: Shaduq (jujur), ma’mun (dipercaya), mahalluhu ash-Shidq (ia tempatnya kejujuran), atau la ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya).
Tingaktan kelima:
Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan, seperti: “Fulan Syaikh” (fulan seorang syekh), “Ruwiya ‘anhu al-Hadis” (orang meriwayatkan hadis darinya), atau “hasan al-Hadis” (yang baik hadisnya).
Tingkatan keenam:
Isyarat yang mendekati pada celaan (jarh), seperti: shahih al-Hadis (hadisnya lumayan), atau “yuktabu haditsuhu” (ditulis hadisnya).[28]
F. Sikap Kritikus Hadis dalam Menilai Rijal al-Hadis
Dalam mengemukakan kritikan, sikap ulama ahli kritik hadis ada yang “ketat” (tasyaddud), ada yang “longgar” (tasahhul), dan ada yang berada antara kedua sikap itu, yakni “moderat” ( tasawut) .[29]
Ulama yang dikenal sebagai mutasyaddid ataupun mutasahil , ada yang berkaitan dengan sikap dalam menilai kesahihan hadis dan ada yang berkaitan dengan sikap dalam menilai kelemahan atau kepalsuan hadis. An-Nasa’i (wafat 303 H/915 M) dan ‘Ali bin ‘Abdillah bin Ja’far as-Sa’di al-Madini (wafat 234 H/849 M) dikenal sebagai mutasyaddid dalam menilai kesiqaan periwayat, yang berarti juga dalam menilai kesahihan suatu hadis.
Selanjutnya, Al-Hakim an-Naisaburi (Wafat 911 H/1505 M) dikenal sebagai mutasahil dalam menyatakan kepalsuan suatu hadis, dan az-Zahabi (wafat 748 H/1348 M) dikenal sebagai mutawasit dalam menilai periwayat dan kualitas hadis. penggolongan ini bersifat umum dan tidak untuk setiap penelitian  yang mereka hasilkan.[30]
Adanya perbedaan sikap para kritikus hadis dalam menilai periwayat dan kualitas hadis tersebut, berarti bahwa dalam penelitian hadis yang nilai tidak hanya para periwayat hadis saja, tetapi juga para kritikusnya, dan sekiranya terjadi perbedaan dalam mengetik, maka sikap kritikus harus menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan isi kritik yang lebih obyektif.
Dalam hubungan ini, ulama telah mengemukakan beberapa syarat bagi seseorang yang dapat dinyatakan sebagai al-jarh wal-muaddil;
1. Alim                                              5. Tidak terkena Jarh
2. Bertaqwa                                      6. Tidak fanatic terhadap sebagai perawi
3. Wara’                                            7. Memahami dengan baik sebab-sebab Jarh.[31]
4. Jujur


G.  Kitab-Kitab Rujukan dalam Penelitian Rijal al-Hadis
Sejumlah kitab telah memmuat riwayat hidup para periwayat hadis. Dalam kitab-kitab tersebut ada yang secara langsung menyebut nama kitab sebagai kitab jarh wa ta’dil dan ada yang tidak sacara langsung menamakannya, walaupun kitab itu isinya secara keseluruhan memuat tentang biografi para periwayat hadis yang tentunya mecakup jarh wa ta’dil para periwayat hadis di dalamnya.[32]
Dalam penulisan kitab tentang biografi para periwayat hadis, para penyusunnya menggunakan metode penulisan tersendiri, sebagaimana dikemukakan oleh al-Tahahhan,[33] sedikitnya ada 7 jenis penulisan kitab biografi para periwayat hadis oleh penulisnya yaitu sebagai berikut:
1. Kitab-kitab khusus menulis biografi para sahabat Nabi saw., seperti:
(a.  الإِسْتِعَابُ فِي مَعْرِفَةِ الأَصْحَابِ لابْنِ عَبْدِ البَرِّ الأَنْدَلُسِي
Di dalamnya memuat sebanyak 3500 biografi sahabat disusun berdasarkan abjad.
  (b.أُسُدُ الغَابَةِ فِي مَعْرِفَةِ الصَّحَابَةِ
Disusun oleh Izzuddin Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn al-Atsir al-Jazary (630 H) berisi 7554 biografi nama sahabat.
 (c.الإِصَابَةُ فِي تَمْيِيْزِ الصَحَابَةِ
Oleh Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H) nama-nama sahabat disusun secara berurutan berdasarkan huruf-huruf kamus.
2. Kitab-kitab Thabaqat; kitab yang disusun berdasarkan generasi, dari masa ke masa sejak zamannya penulis kitab ini, seperti:
a. الطَّبَقَاتُ الكُبْرَى
Disusun oleh Abu Abdillah Muhammad ibn Saad, katib al-Waqidi (230 H)
b.  تَذْكِرَةُ الحُفَّاظِ
Karangan Abu Abdillah Hammad ibn Ahmad ibn Utsman Azzahabi (750 H), berisi biografi sahabat para penghafal hadis Nabi yang berjumlah 1176 sahabat.
3. Kitab-kitab Rawi Hadis secara umum; mencakup seluruh periwayat hadis tanpa memberikan kategori berupa pengkhususan, atau tidak memisahkan periwayat tsiqah dan tidak tsiqah. Seperti : التَّارِيْخُ الكَبِيْرُ (at-Tarikhu al-Kabir) disusun oleh Imam al-Bukhari (256 H); kitab ini berisi 12.315 biografi, bahkan oleh al-Katthan sebagaimana dikutip oleh al-Tahhan dan kitabnya al-Risalah al-Musthafah, mengatakan bahwa isi kitab biografi التَّارِيْخُ الكَبِيْرُ (at-Tarikhu al-Kabir) sebanyak 40.000 nama periwayat.
4. Kitab memuat tentang para tokoh hadis seperti :
a.  الهَدَايَةُ وَالإِرْشَادُ فِي مَعْرِفَةِ أَهْلِ الثِّقَةِ وَالسَّدَادِ
Disusun oleh Abu Nashr Ahmad ibn Muhammad al-Kalabadzi (398 H). Kitab ini khusus memuat biografi tokoh-tokoh yang terdapat pada kitab shahih al-Bukhari.
b.  رِجَالُ صَحِيْح ٍمسْلِمٍ
Kitab ini disusun oleh Abu Bakar Ahmad ibn Ali al-Asfahani yang dikenal dengan Ibnu Manjuh (438 H).
c.  الكَمَالُ فِي أَسْمَاءِ الرِّجَالِ
Kitab tersebut disusun oleh Hafidz Abdul Ghani al-Maqdisi, memuat biografi tokoh hadis pada kitab-kitab sunnah. Kitab ini kemudian diringkas oleh beberapa tokoh ilmu rijal al-Hadis sebagai berikut: 1) Tahzib al-Kamal oleh Mizzy (742 H). 2) Tazib al-Tahzib oleh al-Zahaby, dan kitabnya yang lain berjudul al-Kasyif fi Ma’rifat Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah. 3) Tahzib al –Tahzib dan juga Taqrib al-Tahzib ileh Ibnu Hajar al-Asqalany (852 H).
5. Kitab-kitab menurut rawi yang tsiqah. Seperti: a) kitab al-Tsiqah, oleh Abu Hasan Ahmad ibn Abdullah ibn Shaleh al-Ajly (261 H). b) Kitab al-Tsiqah oleh Muhammad ibn Ahmad ibn Hibban al-Busty (354 H), dll.
6. Kitab khusus memuat para rawi dhaif, seperti: a) Dhuafa al-Kabir dan Dhuafa al-Shagir oleh al-Bukhari, b). Dhuafa al-Matrukun oleh al-Nasa’I, c). Kitab Dhuafa oleh Abu Ja’far Muhammad ibn Amr al-Uqaily, dll.
7. Kitab memuat biografi para tokoh hadis pada negara tertentu, seperti:
a. Mukhtasar Thabaqat al-Ulama Ifriqiyah wa Tunis oleh Abu al-Arf Muhammad ibn Ahmad al-Qoirawany (333 H).
b. Tarikh Bagdad, oleh Ahmad ibn Ali Ibn Tsabit al-Khatib al-Bagdady (463 H), dll.












III. PENUTUP
Kesimpulan :
1. Rijal al-Hadis adalah Ilmu yang membahas tentang kedaan-keadaan perawi-perawi, perjalanan hidup mereka, baik mereka dari golongan sahabat, golongan tabi’in dan tabi’it tabi’in. Dalam pembahasan rijal al-Hadis ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu Jarh wa al-Ta’dil, Tabaqah, dan Tarikh al-Ruwah.
2. Untuk menetapkan Rijal al-Hadis, mem erlukan teknik, yaitu Al-Jarh  didahulukan atas al-Ta‘dil, Mengutamakan pujian drpd celaan, Tidak menerima keritikan org daif terhadap org siqah, Al-Jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan, dan Al-Jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tidak perlu diperhatikan.
3. Segi-segi Rijal al-Hadis yang diteliti adalah Kitab-kitab Tarikh al-Ruwatdan Kitab-kitab al-Jarh wa al-Ta‘dil
4. Kaidah Jarj wa al-Ta’dil ada dua yaitu
a.    Bersandar kepada cara-cara periwayatan hadis, sah periwayatan, keadaan perawi, dan kadar kepercayaan mereka. Ini disebut Naqdual-Kharijiyyun atau kritik yang datang dari luar hadis (kritik yang tidak mengenai diri hadis).
b. Berpautan dengan hadis sendiri, apakah maknanya shahih atau tidak dan apa jalan-jalan keshalihannya dan ketiadaan shalihannya, ini dinamakan Naqdu al-Dakhiliyyun atau kritik dari dalam hadis.
5.  Maratibal-Jarh wa al-Ta‘dil dibedakan antara Peringkat Ta‘dil dan lafal-lafalnya dan Peringkat Jarh dan lafal-lafalnya.
6. Adapun sikap kritikus Hadis dalam menilai Rijal al-Hadis ada yang “ketat” (Tasyaddud), ada yang “longgar” (Tasahud), dan ada yang berada antara kedua sikap itu, yakni “moderat” (Tasawuf)
7. Kitab-kitab yang dapat dijadikan rujukan diantaranya adalah
الإِسْتِعَابُ فِي مَعْرِفَةِ الأَصْحَابِ لابْنِ عَبْدِ البَرِّ الأَنْدَلُسِي
أُسُدُ الغَابَةِ فِي مَعْرِفَةِ الصَّحَابَةِ
الإِصَابَةُ فِي تَمْيِيْزِ الصَحَابَةِ
الطَّبَقَاتُ الكُبْرَى
تَذْكِرَةُ الحُفَّاظِ















Daftar Pustaka
Abdullatif, Abdul Mawjud Muhammad. Ilmu Jarh wa Ta’dil, diterjemahkan oleh A. zarkasyi Chumaidy, Kredibilitas Para Perawi dan Pengimplementasiannya Cet.I; Bandung: Gema Media Pusakatama, 2003.
Abdurrahman, M. dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, Cet. 2; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013.
Ajjaj, Muhammad. Ushul al-Hadis, Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Maktabah Dar al-Fikr, 1981.
al-Qathan, Manna. Mabahaits fi Ulum al-Qur’an, terj Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Cet.1; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013.
al-Thahhan, Mahmud. Taisir Musthalaha al-Hadis, terj. Abu Fuad dengan judul Ilmu Hadis Praktis, Cet. 1; Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad. Hasbi.  Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Cet. 4; Semarang: Pustaka Putra, 1999.
Bustamin dan M. Isa H.A. Metodologi Kritik Hadis, Cet.1: Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004.
Hasain,  Abu Labubah.  al-Jarh wa at-Ta’dil, Riyad: Dar al-Liwa’I , 1399 H/ 1979 M.
Ismail,  M. Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Cet. 3; Jakarta: Bulan Bintang, 2005.
…….., Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Cet. 1; Jakaeta: Bulan Bintang, 1992.
Munawwir, Ahmad Warson.  Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Cet. 14; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
PL, Noor Sulaiman.  Antologi Ilmu Hadis, Cet. 2; Jakarta: Gaung Persada Press, 2009.
Rahman, Fathur. Ikhtiar Mushthalah al-Hadis, Cet. 1; Bandung: Al-Ma’arif, 1974.
Tahhan,  Mahmud.  Taisir Musthalah al-Hadis, Surabaya: Maktabah al-Hidayah, t.t.
Yahya, Muhammad.  Kaidah-Kaidah Periwayatan Hadis Nabi, Cet. 1; Makassar: Alauddin University Press, 2012.
Zein, M. Ma’shum. Ilmu Memahami Hadis Nabi; Cara Praktis Menguasai Ulum al-Hadis dan Musthalah Hadis, Cet. 1; Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2014.


[1]Mahmud Tahhan, Taisir Musthalah al-Hadis, (Surabaya: Maktabah al-Hidayah, t.t), h. 173.
[2]Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Cet. 14; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 180.
[3]Abu Labubah Hasain, al-Jarh wa at-Ta’dil, (Riyad: Dar al-Liwa’I , 1399 H/ 1979 M), h. 19.
[4]M. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadis Nabi; Cara Praktis Menguasai Ulum al-Hadis dan Musthalah Hadis, (Cet. 1; Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2014), h. 204.
[5]Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, h. 972.
[6]Muhammad Ajjaj, Ushul al-Hadis, Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Maktabah Dar al-Fikr, 1981), h. 261.
[7]Muhammad Ajjaj, Ushul al-Hadis, Ulumuhu wa Mushthalahuhu, h. 261.
[8]M. Ma’shum Zein, Ilmu Memahami Hadis Nabi; Cara Praktis Menguasai Ulum al-Hadis dan Musthalah Hadis, h. 205.
[9]M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah,(Cet. 3; Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 77.
[10]M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, h. 78.
[11]Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, diterjemahkan oleh A. zarkasyi Chumaidy, Kredibilitas Para Perawi dan Pengimplementasiannya (Cet.I; Bandung: Gema Media Pusakatama, 2003), h. 40.
[12]M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, h. 78.
[13]Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Jarh wa Ta’dil, diterjemahkan oleh A. zarkasyi Chumaidy, Kredibilitas Para Perawi dan Pengimplementasiannya, h.79.
[14]M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, h. 79.
[15]Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, (Cet.1: Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004), h. 52.
[16]M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, h. 80.
[17]M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, h. 81.
[18]M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, h. 81.
[19]Bustamin dan M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, h. 11.
[20]Teungku Muhammad. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Cet. 4; Semarang: Pustaka Putra, 1999),  h. 79.
[21]Fathur Rahman, Ikhtiar Mushthalah al-Hadis, (Cet. 1; Bandung: Al-Ma’arif, 1974), h. 292.
[22]Lihat, M. ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahahu (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h.225.
[23]Fathur Rahman, Ikhtiar Mushthalah al-Hadis, h. 295.
[24]M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, (Cet. 2; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), h. 92.
[25]Muhammad Yahya, Kaidah-Kaidah Periwayatan Hadis Nabi, (Cet. 1; Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 158.
[26]Muhammad Yahya, Kaidah-Kaidah Periwayatan Hadis Nabi, h. 158.
[27]Manna al-Qathan, Mabahaits fi Ulum al-Qur’an, terj Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis, (Cet.1; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013), h. 89-90.
[28]Manna al-Qathan, Mabahaits fi Ulum al-Qur’an, terj Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadis, h. 88-89.
[29]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Cet. 1; Jakaeta: Bulan Bintang, 1992), h.74.
[30]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 75.
[31]Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadis, (Cet. 2; Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), h. 177.
[32]Muhammad Yahya, Kaidah-Kaidah Periwayatan Hadis Nabi, h. 165.
[33]Mahmud al-Thahhan, Taisir Musthalaha al-Hadis, terj. Abu Fuad dengan judul Ilmu Hadis Praktis, (Cet. 1; Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005), h.  154-189.

1 komentar: